J o m b l O

Kamis, 17 April 2008


Saksikanlah reality show-reality show yang ada di televisi Anda, bukan pada acara kontes menyanyi yang sedang marak disiarkan. Tapi, reality show semacam biro jodoh yang menggila lantaran pesertanya adalah kebanyakan remaja yang jomblo. Mereka mencari-cari kesempatan dalam acara itu untuk mendapatkan seorang pacar dan melepas kegerahan pada predikat jomblo mereka.

Jomblo. Begitu anak-anak muda sekarang menyebutnya. Bukan nama semacam makanan apalagi penyakit. Jomblo adalah sebuah status yang menempatkan diri mereka pada situasi belum punya pacar apalagi menikah. Dulu, istilah ini belum menjadi trend, mereka justru menyebut komunitas itu dengan sebutan single. Mungkin jika kita bertanya pada ayah atau ibu di rumah, kita tak akan mendapatkan jawaban yang pasti karena hanya segelintir orang tua yang memahami arti kata tersebut. Benarkah jomblo menjadi momok menakutkan bagi para remaja sekarang? Mungkin, bagi sebagian remaja. Apakah menjadi seorang jomblo’ers (istilah bagi penyandang status jomblo), artinya “tidak laku”? Oh…sungguh paradigma budaya dan media yang menyesatkan!

“Kenapa masih jomblo?”

Sungguh menohok ulu hati kala pertanyaan klise itu menggetarkan saraf pendengaran kita. Benar juga, kenapa masih menjomblo? Jawabannya ada pada diri Anda masing-masing. Mungkin karena belum siap menjalani hubungan yang lebih serius dari sekadar teman. Mungkin karena memang belum mendapatkan “surat izin” dari orang tua. Mungkin juga, karena kelajangan membawa kita pada kebebasan yang indah tiada tara. Terserah Anda, karena jomblo itu pilihan hidup. Tapi, jomblo juga bisa menjadi penyakit jika kita terlalu “nyaman” berada di dalamnya. Haruskah kita melanggar kesempurnaan sebagian ibadah kita demi sebuah status bernama jomblo? Itu pun merupakan paradigma yang tak kalah menyesatkan.

Positifnya, jomblo dapat dijadikan masa pengasahan dan pengujian segala potensi kita. Tak ada kata tak sempat untuk belajar yang rajin serta menyalurkan hobi dan bakat kita. Tengoklah buku non-fiksi hasil tulisan tangan komunitas FLP (Forum Lingkar Pena) yang berjudul Miss Right, Where Are You? yang menyajikan suka duka para jomblo’ers. Di dalamnya, Zaenal Radar T. menyimpulkan beberapa kerugian dari menjomblo yaitu sering diejek dan dianggap tidak laku, terkadang merasa kesepian, dan merana karena tidak bisa berdua-duaan dengan seseorang yang kita cintai. Tapi, tenang saja, efek dari poin yang baru saja disebutkan biasanya akan tenggelam dengan sendirinya ketika kita menemukan hikmah dari kesendirian tersebut. Berikutnya, penulis FLP ini mengungkapkan keuntungan menjadi seorang jomblo’ers yakni bebas pergi kemana saja tanpa ada yang melarang atau memonitori, hemat pengeluaran, tidak ada yang cemburu, dan terhindar dari kemungkinan berbuat dosa.

Percayalah, Anda bisa tetap menjadi orang yang bahagia meskipun menyandang status jomblo. Kejombloan bukanlah sumber dari ketidakbahagiaan, tapi ketidakikhlasan kita menerima keadaan lah yang membuat diri kita merasa tak bahagia. Tak perlu iri dan memusingkan orang lain yang asyik bersama pasangannya. Jangan pernah pula menganggap diri Anda tak disukai dan tak laku karena kejombloan. Sekali lagi, itu adalah paradigma menyesatkan. Mungkin Yang Di Atas mempunyai skenario yang lebih indah buat kita nantinya. Pastinya, Ia telah menyiapkan seseorang yang istimewa untuk kita saat kita telah siap melepas kelajangan itu.

0 komentar:

Posting Komentar

What do you think about this...???