Sinetron Remaja

Kamis, 17 April 2008


Ada seorang gadis SMA, namanya Nia. Nia yang biasanya selalu ceria dan semangat di sekolah, mendadak jadi selalu terlihat murung, pemarah, bahkan sering pingsan tiba-tiba. Setelah diselidiki, ternyata Nia punya masalah dengan ibunya di rumah. Pasalnya, Nia minta dibelikan gaun pesta merk terkenal yang harganya selangit. Jelas saja ibunya tidak mau memenuhi kemauan Nia. Lalu teman Nia bertanya kenapa Nia begitu antusias meminta gaun yang mahal itu. Lalu, apa jawaban Nia? Ia bilang,”Aku ‘kan juga pingin cantik di acara perpisahan nanti…kayak cewek yang di sinetron kemarin itu…” temannya hanya terbengong-bengong.

Dari ilustrasi di atas, mungkin teman-teman sudah bisa menebak topik yang akan saya sampaikan dalam kesempatan kali ini. Ya! Tentang sinetron remaja.

Kita tahu bahwa yang ditampilkan dalam sinetron remaja itu berlabel Fiktif. Dengan menontonnya, kita hanya akan dibanjiri oleh mimpi-mimpi belaka. Tentu kalian ingat dengan sinetron Olivia yang bercerita tentang seorang gadis yang nekat menyamar menjadi laki-laki bahkan tinggal serumah dengan cowok pujaannya. Temanya pun melenceng, yang awalnya agar Olivia bisa bermain di klub sepakbola putra, tapi akhirnya justru tentang perebutan cowok dan lain-lain. Dan itu semua adalah hal yang nyaris mustahil kita temui dalam keseharian kita.

Kita tahu bahwa sinetron remaja sekarang kebanyakan hanya menampilkan tema cinta. Tema persahabatan dan keluarga sedikit, apalagi belajarnya, sangat sedikit! Sekarang saya tanya, apakah kehidupan remaja hanya berisi tentang bagaimana caranya tampil cantik di sekolah? Apakah hanya berisi tentang bagaimana caranya mendapatkan hati orang yang kita sukai? Apakah hanya itu? Jika jawabannya ya, masih adakah ruang dalam pikiran mereka untuk kembali mengingat pelajaran dan memikirkan persiapan UAN yang tinggal menghitung hari?

Ramuan sinetron lainnya membuat kita semakin ingin berlama-lama dalam mimpi. Padahal Ebiet G. Ade berkata,”Bergegaslah bangun dari mimpi, atau engkau akan kehilangan keindahan yang tengah engkau genggam”. Wajah dan tubuh yang menarik, fasilitas mahal dan mewah, dan keberuntungan mendadak seperti dalam sinetron Namaku Mentari, justru yang paling banyak dipamerkan oleh sinetron remaja. Ketika kita “membuka mata”, nyatanya kita dihadapkan pada realita bahwa kita harus susah payah mempersiapkan diri untuk UAN, persiapan UMPTN, atau kita hanya memiliki wajah yang biasa saja dan berasal dari keluarga yang amat sederhana. Inilah yang membuat kita semakin tidak realistis melihat hidup. Seringkali terlontar kata,”Andai saya seberuntung gadis di sinetron itu…”. Padahal, membanding-bandingkan dan merutuki nasib justru membuat kita semakin putus asa bahkan su’udzon kepada Allah.

Kita sering melihat sinetron yang jalan ceritanya makin tidak jelas karena skenarionya dipanjang-panjangkan. Itu dilakukan oleh pengelola stasiun TV untuk mempertahankan minat pengiklan di stasiun TV tersebut. Secara tidak sadar, kita telah menjadi kelinci percobaan untuk melihat sinetron tersebut diminati atau tidak. Contohnya sinetron “Inikah Rasanya” yang akhirnya ditayangkan lebih malam setelah skenarionya menjadi “makin dewasa” untuk usia SMP. Jika kita tidak berbuat sesuatu untuk menolak sinetron tak bermutu seperti itu, pihak stasiun TV akan tenang-tenang saja menayangkan acara yang tidak bermoral sekalipun! Seorang produser film pernah melontarkan sebuah pernyataan tentang moral dan pendidikan: “Kalau mau cari pendidikan ya di sekolah saja, jangan di bioskop. Orang ke bioskop bukan cari pendidikan, tapi hiburan…” Padahal baik di film atau pun sinetron remaja, yang disorot adalah anak-anak SMA yang masih dalam masa pendidikan sekolah.

Saya sedikit miris melihat banyak artis remaja yang sering memainkan peran sebagai orang dewasa bahkan suami istri. Contohnya Nia Ramadhani di sinetron Allysa atau Shireen Sungkar di Cinta Fitri. Sehingga, penampilan mereka menjadi lebih “dewasa” dari usianya. Parahnya, itulah yang dicontoh para fans mereka. Dalam kenyataannya, pembuatan sinetron seringkali terburu-buru (kejar tayang). Skenarionya pun digarap dengan Sistem Kebut Semalam dan tak lagi memikirkan moral . Terkadang karakter tokohnya pun dibuat terlalu ekstrim. Misalnya tokoh ibu tiri yang selalu jahat sekali. Beberapa remaja justru menjadikan cerita yang ada di sebuah sinetron sebagai acuan hidupnya dan cerminan untuk mencari jati diri.

Jangankan anak SMA, anak kecil saja ikut menjadi korbannya. Sederhananya, karena kebanyakan isi dari sinetron remaja itu sendiri adalah tentang cinta. Tanpa kita sadari, anak-anak kecil pun ikut menonton sinetron seperti itu. Maka, tak heran kalau seandainya suatu hari kita mendengar celetukan adik kita,” Ih…Kakak lagi pacaran ya…? Tuh, lagi berdua-duaan…” Nyatanya, kita tidak melakukan hal itu. Asumsi mereka, kalau ada seorang cewek dan seorang cowok sedang mengobrol berdua, pasti sedang pacaran. Atau contoh lain, kalau kita memergoki adik kita sedang memakai lipstik. Saat kita tanya, jawabnya,” “Kan biar cantik kaya’ mbak yang ada di sinetron…” Itulah realita! Dan itu adalah hasil didikan sinetron remaja. Lantas, apakah hal itu etis begi seorang anak kecil? Usia mereka bahkan belum mencapai dua angka. Mereka telah salah menganggap nilai-nilai cinta, hubungan antarmanusia, dan tata krama. Dan itu akan menjadi ancaman bagi kehidupan normal manusia. Kenapa? Karena normalnya, seorang gadis baru akan mengenal cinta atau kosmetik pada saat remaja nanti. Benar ‘kan?.

Saya lebih merindukan sinetron seperti Keluarga Cemara. Karena pesan moral, pendidikan, kekeluargaan, persahabatan, dan cinta ada dalam sinetron tersebut. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara cerdas kita untuk memilih sinetron yang bermutu untuk dinikmati. Dari sikap seperti itulah, rating sinetron cerdas pun akan menggeser sinetron yang hanya menjual mimpi. Kita dituntut untuk kritis menyeleksi kelayakan sebuah sinetron. Hasut teman lain untuk tak lagi menonton sinetron yang hanya menjual mimpi dan tidak masuk akal. Kita layangkan kritik atau komentar lewat surat kabar, website atau blog internet sebagai tanda protes.

Bukan berarti secara mutlak saya menganggap bahwa menonton sinetron itu salah…Dengan menonton sinetron pun, kita bisa santai sejenak dari tugas sekolah yang menumpuk. Kita juga bisa melihat akibatnya jika misalnya terlalu sedih ketika patah hati atau jika terlalu egois pada orang lain. Sekali lagi, kita tidak bisa menilai sinetron hanya dari satu sisi saja, akan selalu ada kelebihan dan kekurangannya. Makin banyak sinetron, makin banyak kreatifitas tersalurkan. Semua tergantung pada kita sebagai konsumen untuk memilih sinetron yang cocok untuk kita

0 komentar:

Posting Komentar

What do you think about this...???