Mendung di Hati Olin

Kamis, 06 Maret 2008




Sore itu, Olin baru saja pulang dari rumah salah seorang teman sekelasnya. Mereka melaksanakan belajar kelompok untuk menyelesaikan tugas sekolah mereka.
“Assalamu’alaikum…” Olin mengucapkan salam.
Tapi, tak ada jawaban dari dalam rumahnya. Entahlah, mungkin mama dan papa sedang tidak berada di rumah, seperti yang biasa mereka lakukan.
Olin baru saja hendak memasuki kamarnya ketika ia melihat mamanya duduk di ruang makan sembari melamun di dekat jendela. Ternyata, mamanya ada di rumah, pantas pintu rumah tidak dikunci. Begitu piker Olin. Dan tampak olehnya kepulan asap yang mengitari wanita berusia 40-an tahun itu. Sadarlah Olin bahwa mamanya sedang merokok.
“Mama! Mama apa-apaan sih? Sudah berapa kali Olin bilang, Ma. Init uh nggak baik buat kesehatan Mama…” cegah Olin dan berusaha merebut rokok itu dari tangan mama.
“Diam, Olin! Mama nggak perlu nasihat dari kamu! Anak kecil! Tahu apa kamu soal kesehatan Mama?!!” Bentak mama berang.
“Ma, kenapa sih, Mama tuh selalu nyalahin Olin. Padahal Olin kan nggak tahu apa-apa…”
“Mama udah capek ngomong sama kamu, Olin. Mama Cuma mau kamu nggak ikut campur dengan semua urusan Mama! Ngerti?!” tegas mama lalu masuk ke dalam kamarnya.
Olin menghela napas dalam-dalam. Ia Cuma bisa pasrah dengan keadaan ini. Gadis itu pun melangkah gontai dan memasuki kamarnya.
Olin melempar tasnya begitu saja dan merebahkan tubuhnya di spring bed. Matanya yang mulai berair menatap lekat pada langit-langit kamarnya. Hatinya terasa hancur oleh ucapan mamatadi. Bagaimana bisa seorang ibu berlaku begitu kasar terhadap anaknya yang tak bersalah apa-apa?
Laksana sebuah rol film, pikiran Olin segera berputar mundur ke beberapa tahun yang lalu. Saat isi rumah ini masih begitu lengkap dengan keberadaan Olga, kakak Olin.
Senyum manis Olga yang selalu dibarengi dengan lesung pipit yang merekah di sisi-sisi bibir merahnya, binar matanya dengan bulu-bulu mata yang lentik, serta rambut ikalnya yang legam kala berhadapan dengan sinar matahari, terekam begitu jelas dalam benak Olin. Kakaknya yang cantik, pintar, dan baik. Oh… Olin tak kuasa lagi membendung tangisnya.
Tapi, salahnyakah jika akhirnya Olga harus pergi dari kehidupan mereka semua?
***
Hujan di luar masih terus mengguyur deras kota Tenggarong. Sementara dentang waktu mengarah tepat pukul 08.00. Deng…Dong…Deng…Dong…Suarqa itu kian membuat Olin menjadi gelisah. Katup-katup bibirnya menguncup ditingkahi kerutan-kerutan khas perasaan tak suka yang menghiasi dahi berponinya.
Olin menyentakkan kakinya ke lantai keras-keras. Sudah bisa dipastikan, Bu Dina pasti marah besar dengan keterlambatannya. Tak ada yang bisa menawar kemarahan guru over disiplin itu bila ada siswanya yang terlambat. Bahkan hujan sekalipun!
Sekarang siapa yang akan menolongnya dalam keadaan seperti ini? Hujan deras, tak mungkin ia pergi sendiri dengan sepeda mini yang setia mengantarnya setiap hari itu. Papa tidak di rumah, sibuk dengan bisnisnya yang selalu dating silih berganti. Mama, meski ada sebuah Inova yang menganggur di garasi, tak mungkin mama mau menggunakannya. Bahkan, untuk mengendarai motor pun, mama terkadang masih takut akibat trauma melihat sebuah kecelakaan naas di depan matanya beberapa waktu silam. Hhh… mama yang sensitive!
Olin melirik kea rah Olga yang baru selesai mandi. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di pikirannya.
“Kak, anterin ke sekolah dong…” pinta Olin.
Olga memandang ke luar jendela. Deru hujan begitu meredam suara-suara di sekitarnys.
“Yakin guru kamu masuk?” Tanya Olga.
“Bu Dina, Kak…Aku udah cerita kan…?”
Olga mengangkat alisnya,”Hari yang menyebalkan ya, Lin?”ujar Olga sembari masuk kamar.
Olin mengejar gadis berusia 20 tahun itu. “Lantas, apa tindakan Kakak untuk nolong aku?”
“Berat, Lin…”
Kecewa Olin mendengar jawaban itu. Tiba-tiba mama muncul.
“Izin aja, Lin,” ucap Mama.
“Nggak ah! Olin males izin-izin segala, hari init uh pelajarannya penting-penting semua, Ma…Olin nggak mau ketinggalan…”
“Dasar belajar mania! Siap-siap, gih!” Olga berseru.
“Beneran, Kak?”
Olga mengedipkan sebelah matanya dan segera meraih jas hujan dari lemarinya.
“Olga, jangan suka manjain Olin. Mama takut, nanti kalian malah kesulitan di jalan. Liat tuh hujannya, sampai nggak bissa liat apa-apa di luar,” ujar mama khawatir.
“Mama! Jangan mulai deh!” seru Olin dan Olga bersamaan.
“Tapi, kamu mau pakai apa, Ga?”
“Motor aja lah, malas nih ngeluarin Inova”
“Lagipula, Kak, Kata Papa, ban belakang Inova lagi bocor tuh!” ujar Olin sembari merapatkan resleting jaketnya.
“Senangnya kok hujan-hujan…!” omel Mama sembari mengantar kedua putrinya ke teras.
“Olga kan pake jas hujan yang gede ini, Ma. Jadi, nggak bakal basah-basahan. Lagipula kalo pake motor, paling berapa menit aja juga sampai. Naik, Lin!” ucap Olga setelah menstater motor bebeknya yang berada di garasi.
“Olin berangkat ya, Ma…Assalamu’alaikum…”
Sesaat kemudian, motor bebek itu telah melaju kencang menembus jatuhnya air hujan yang tak ada habis-habisnya.
Sesampainya di depan gerbang sekolah. Olin turun dari motor bebek Olga. Payung yang ia bawa kini melindungi dirinya dari hujan yang kian menderas.
“Udah, masuk kelas sana!” suruh Olga.
Olin tersenyum. Dalam hati, ia begitu bangga memiliki kakak sebaik Olga. Olga begitu perhatian padanya. Dan kini, senyum kakak tercintanya itu terkembang manis di bawah rinai hujan. Ada sesuatu yang tak diketahui Olin di balik senyuman itu, sesuatu yang akan membuat Olin menjadi takut.
***
Seperti biasa, apabila Olin pergi ke sekolah dengan di antar, ia selalu pulang dengan menggunakan jasa tukang ojek. Mendadak, keheranan terpapar di wajah Olin ketika dilihatnya banyak orang berkumpul di rumahnya. Yang wanita memakai kerudung dan yang pria berpeci. Perasaan Olin jadi makin risau tatkala ia melihat sebuah bendera putih di depan rumahnya. Oh! Siapa yang meninggal?
Ketika ia memasuki rumahnya, terlihat olehnya sesosok tubuh terbujur kaku yang dibaringkan di tengah-tengah ruang tamu. Tubuh itu diselimuti kain, begitu pun wajahnya. Sementara, orang-orang di sekelilingnya beramai-ramai membacakan surat Yasiin.
Olin melangkah ragu-ragu, mendekati tubuh tak bernyawa itu. Perlahan dibukanya kain penutup wajah si mati, dan Olin merasakan tegang seolah darahnya berhenti mengalir melihat wajah pucat Olga yang dipenuhi luka. Kapala Olin bagai dihantam sesuatu yang kera, ia tak mampu merasakan apa-apa lagi. Sekelilingnya menghitam dan ia pun jatuh pingsan.
***
Olin terbangun dari lamunannya. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Angin yang dingin masuk ke kamar Olin melalui ventilasi, sehingga membuat gadis 16 tahun itu dapat merasakan sentuhan dinginnya. Dingin yang melukai. Karena dingin itu, ia kembali teringat pada Olga dan ketidakterimaan mama yang selalu ditumpahkan lewat dirinya.
“Ini semua salah kamu, Lin! Seandainya kamu nggak maksa Olga untuk ngantar kamu ke sekolah, dia nggak akan ninggalin kita,” ceracau mama di sela-sela isak tangisnya.
“Tapi, Ma… Olin nggak tahu bakal begini jadinya…”
“Justru itu, Lin, Harusnya kamu ngerti, di luar lagi hujan, jalanan pasti licin! Dan kamu tahukan kalo untuk ke rumah kita ini harus ngelewatin tanjakan?”
“Maaf, Ma…Tapi, Kak Olga selalu hati-hati kok di jalan, biar cuaca buruk begitu…”
“Olin, Mama tetap merasa sakit harus kehilangan Olga”
“Maaf, Ma…” Olin mulai terisak.
“Terlambat, Lin…”
Olin masih begitu hafal kata-kata mama seusai pemakaman Olga saat itu. Sejak itu, mama kelihatan selalu frustasi. Ia kerap menyendiri. Papa telah mencoba untuk menyadarkannya, tapi mama justru selalu melawan dan melemparkan sumpah serapahnya. Papa bisa apa? Terlebih ia harus disubukkan dengan urusan bisnisnya. Papa hanya berpesan pada Olin agar selalu menjaga perasaan mama.
Tapi, kekerasan hati mama terlalu sulit untuk dilunakkan. Ia tetap menganggap Olin sebagai penyebab kematian Olga. Di saat kesendiriannya, teman setia mama hanyalah sebungkus rokok yang selalu ia sembunyikan dari papa. Bahkan, ia juga mengancam Olin untuk tak bilang pada papa. Oh Mama…Aku rindu senyummu, gumam Olin lirih.
Tiba-tiba handphone-nya berdering, Saskie meneleponnya.
“Halo, Sas…Assalamu’alaikum,” sahut Olin
“Wa’alaikumsalam…Lin, gimana keadaanmu?” Tanya Saskie
“Baik, Sas”
“Hhh…syukur deh, aku khawatir aja sama kamu. Tapi, kamu nggak bohong ‘kan?”
“Nggak, Sas. Tapi…”
“Kenapa? Mamamu lagi?”
Olin mengangguk tanpa menjawab pertanyaan Saskie.
“Lin, kenapa?”
“Ah, nggak apa-apa, Sas. Aku Cuma mau bilang…tapi, waktu kamu telpon aku, aku lagi tidur,” Olin terpaksa berbohong.
“Oh, maaf, Lin. Aku ganggu ya? Ya udah deh, kamu terusin aja tidur kamu. Assalamu’alaikum…” Lalu telepon pun terputus.
Maaf sobat, batin Olin.
Saskie memang selalu meneleponnya jika sahabat baiknya itu merasakan perasaan tak enak terhadap Olin. Olin memang pernah cerita tentang mama pada Saskie. Tentang kemarahan mama padanya yang tak pernah surut, tentang kesediahannya terhadap perilaku mama, dan tentang tindakan kasar mama yang bahkan tega memukul dirinya. Hanya pada Saskie, ia menumpahkan segalanya, selain ia bergantung pada Yang Maha Pengasih. Bagi Olin, Saskie merupakan kakak keduanya setelah Olga yang kini telah tiada di hari-harinya.
Bila Olin berkunjung ke rumah Saskie, gadis pendiam itu merasa menemukan gambaran konkret indahnya arti sebuah keluarga. Apalagi bila melihat ayah Saskie yang begitu berwibawa, ibu Saskie yang ramah dan penyayang, serta ketiga adik kembar Saskie, Zakky, Zahra, dan Zulfi yang imut-imut dan periang itu. Ah…terkadang ia merasa iri dengan itu semua. Betapa miris hatinya jika harus membandingkan keluarganya dengan keluarga Saskie.
Keluarga Saskie adalah surga cintanya di dunia. Surga dimana ia dapat melepas segala duka di hatinya. Surga dimana ia mendapatkan kembali kasih saying yang beberapa tahun ini hilang terampas darinya di tempat tinggalnya sendiri. Kini, biarlah waktu yang bicara, kapan mama mau menerimanya kembali.
Olin melangkah menuju jendela kamarnya. Jendela yang menyebabkan air hujan dapat masuk ke dalam kamar Olin. Ia mendongakkan kepalanya,melihat langit yang menumpahkan hujan begitu dahsyat. Mendung itu…Mendung itu belumlah sirna. Dan kini, mendung itu pun turut berkumpul di hati Olin.


Tenggarong, 22 Januari 2007

0 komentar:

Posting Komentar

What do you think about this...???