~ Pride & Prejudice ~

Kamis, 17 April 2008


Tulisan ini bukanlah sebuah resensi film. Meski judul di atas memang merupakan judul sebuah film Hollywood yang dibintangi oleh Keira Knightley. Kebanggaan dan prasangka tengah menjejali pikiran warga kelas saya, XII IPA 1, SMANSA. Kebanggan yang memang seharusnya kami punyai karena XII IPA 1 memiliki magnet tersendiri di kalangan para siswa dan prasangka yang belakangan sering muncul lantaran stress menghadapi ujian nasional nanti. Kebanggaan dan prasangka itu pula yang melahirkan sikap gengsi kami bahkan juga para pengajar agar nilai-nilai yang kami peroleh haruslah lebih dibanding kelas lain.

Tulisan ini memanglah tentang segala kebanggaan dan prasangka dilematis, khususnya dari saya, menjelang perayaan ujian nasional nanti. Memang ada rasa bangga memperoleh nilai yang baik di ujian. Apalagi jikalau hal itu dibarengi dengan kesuksesan menahan diri untuk tidak tengok kanan-kiri. Itu adalah sebuah prestasi luar biasa! Prasangka baik muncul manakala saya dapat menuntaskan soal-soal “panas” kelak dengan semaksimal mungkin. Tapi, prasangka buruk muncul melihat atau mendengar banyak teman-teman yang berbuat curang dalam proses itu demi sebuah kebanggaan atau lebih tepat dikatakan gengsi.

Saya memang tidak berpengaruh apapun tentang hal itu. Saya hanya berpikir, masih dapat banggakah saya berada di kelas yang tergolong unggulan SMANSA ini, jika sebagian besar warganya hanya berpikiran seperti itu? Kenapa orang-orang lebih suka mengutamakan gengsi mereka demi sebuah status? Pertanyaan yang mungkin akan dicemooh dan ditertawakan oleh teman-teman sekelas saya. Tapi, saya pun lebih percaya bahwa pertanyaan di atas tidaklah tidak benar. Setidaknya itu membuat saya bangga dapat mencapai prestasi yang Insya Allah gemilang dan berprasangka baik bahwa setiap usaha selalu ada balasannya, seperti hukum Newton III, jika kita melakukan aksi, maka akan selalu ada reaksinya.

Sinetron Remaja


Ada seorang gadis SMA, namanya Nia. Nia yang biasanya selalu ceria dan semangat di sekolah, mendadak jadi selalu terlihat murung, pemarah, bahkan sering pingsan tiba-tiba. Setelah diselidiki, ternyata Nia punya masalah dengan ibunya di rumah. Pasalnya, Nia minta dibelikan gaun pesta merk terkenal yang harganya selangit. Jelas saja ibunya tidak mau memenuhi kemauan Nia. Lalu teman Nia bertanya kenapa Nia begitu antusias meminta gaun yang mahal itu. Lalu, apa jawaban Nia? Ia bilang,”Aku ‘kan juga pingin cantik di acara perpisahan nanti…kayak cewek yang di sinetron kemarin itu…” temannya hanya terbengong-bengong.

Dari ilustrasi di atas, mungkin teman-teman sudah bisa menebak topik yang akan saya sampaikan dalam kesempatan kali ini. Ya! Tentang sinetron remaja.

Kita tahu bahwa yang ditampilkan dalam sinetron remaja itu berlabel Fiktif. Dengan menontonnya, kita hanya akan dibanjiri oleh mimpi-mimpi belaka. Tentu kalian ingat dengan sinetron Olivia yang bercerita tentang seorang gadis yang nekat menyamar menjadi laki-laki bahkan tinggal serumah dengan cowok pujaannya. Temanya pun melenceng, yang awalnya agar Olivia bisa bermain di klub sepakbola putra, tapi akhirnya justru tentang perebutan cowok dan lain-lain. Dan itu semua adalah hal yang nyaris mustahil kita temui dalam keseharian kita.

Kita tahu bahwa sinetron remaja sekarang kebanyakan hanya menampilkan tema cinta. Tema persahabatan dan keluarga sedikit, apalagi belajarnya, sangat sedikit! Sekarang saya tanya, apakah kehidupan remaja hanya berisi tentang bagaimana caranya tampil cantik di sekolah? Apakah hanya berisi tentang bagaimana caranya mendapatkan hati orang yang kita sukai? Apakah hanya itu? Jika jawabannya ya, masih adakah ruang dalam pikiran mereka untuk kembali mengingat pelajaran dan memikirkan persiapan UAN yang tinggal menghitung hari?

Ramuan sinetron lainnya membuat kita semakin ingin berlama-lama dalam mimpi. Padahal Ebiet G. Ade berkata,”Bergegaslah bangun dari mimpi, atau engkau akan kehilangan keindahan yang tengah engkau genggam”. Wajah dan tubuh yang menarik, fasilitas mahal dan mewah, dan keberuntungan mendadak seperti dalam sinetron Namaku Mentari, justru yang paling banyak dipamerkan oleh sinetron remaja. Ketika kita “membuka mata”, nyatanya kita dihadapkan pada realita bahwa kita harus susah payah mempersiapkan diri untuk UAN, persiapan UMPTN, atau kita hanya memiliki wajah yang biasa saja dan berasal dari keluarga yang amat sederhana. Inilah yang membuat kita semakin tidak realistis melihat hidup. Seringkali terlontar kata,”Andai saya seberuntung gadis di sinetron itu…”. Padahal, membanding-bandingkan dan merutuki nasib justru membuat kita semakin putus asa bahkan su’udzon kepada Allah.

Kita sering melihat sinetron yang jalan ceritanya makin tidak jelas karena skenarionya dipanjang-panjangkan. Itu dilakukan oleh pengelola stasiun TV untuk mempertahankan minat pengiklan di stasiun TV tersebut. Secara tidak sadar, kita telah menjadi kelinci percobaan untuk melihat sinetron tersebut diminati atau tidak. Contohnya sinetron “Inikah Rasanya” yang akhirnya ditayangkan lebih malam setelah skenarionya menjadi “makin dewasa” untuk usia SMP. Jika kita tidak berbuat sesuatu untuk menolak sinetron tak bermutu seperti itu, pihak stasiun TV akan tenang-tenang saja menayangkan acara yang tidak bermoral sekalipun! Seorang produser film pernah melontarkan sebuah pernyataan tentang moral dan pendidikan: “Kalau mau cari pendidikan ya di sekolah saja, jangan di bioskop. Orang ke bioskop bukan cari pendidikan, tapi hiburan…” Padahal baik di film atau pun sinetron remaja, yang disorot adalah anak-anak SMA yang masih dalam masa pendidikan sekolah.

Saya sedikit miris melihat banyak artis remaja yang sering memainkan peran sebagai orang dewasa bahkan suami istri. Contohnya Nia Ramadhani di sinetron Allysa atau Shireen Sungkar di Cinta Fitri. Sehingga, penampilan mereka menjadi lebih “dewasa” dari usianya. Parahnya, itulah yang dicontoh para fans mereka. Dalam kenyataannya, pembuatan sinetron seringkali terburu-buru (kejar tayang). Skenarionya pun digarap dengan Sistem Kebut Semalam dan tak lagi memikirkan moral . Terkadang karakter tokohnya pun dibuat terlalu ekstrim. Misalnya tokoh ibu tiri yang selalu jahat sekali. Beberapa remaja justru menjadikan cerita yang ada di sebuah sinetron sebagai acuan hidupnya dan cerminan untuk mencari jati diri.

Jangankan anak SMA, anak kecil saja ikut menjadi korbannya. Sederhananya, karena kebanyakan isi dari sinetron remaja itu sendiri adalah tentang cinta. Tanpa kita sadari, anak-anak kecil pun ikut menonton sinetron seperti itu. Maka, tak heran kalau seandainya suatu hari kita mendengar celetukan adik kita,” Ih…Kakak lagi pacaran ya…? Tuh, lagi berdua-duaan…” Nyatanya, kita tidak melakukan hal itu. Asumsi mereka, kalau ada seorang cewek dan seorang cowok sedang mengobrol berdua, pasti sedang pacaran. Atau contoh lain, kalau kita memergoki adik kita sedang memakai lipstik. Saat kita tanya, jawabnya,” “Kan biar cantik kaya’ mbak yang ada di sinetron…” Itulah realita! Dan itu adalah hasil didikan sinetron remaja. Lantas, apakah hal itu etis begi seorang anak kecil? Usia mereka bahkan belum mencapai dua angka. Mereka telah salah menganggap nilai-nilai cinta, hubungan antarmanusia, dan tata krama. Dan itu akan menjadi ancaman bagi kehidupan normal manusia. Kenapa? Karena normalnya, seorang gadis baru akan mengenal cinta atau kosmetik pada saat remaja nanti. Benar ‘kan?.

Saya lebih merindukan sinetron seperti Keluarga Cemara. Karena pesan moral, pendidikan, kekeluargaan, persahabatan, dan cinta ada dalam sinetron tersebut. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara cerdas kita untuk memilih sinetron yang bermutu untuk dinikmati. Dari sikap seperti itulah, rating sinetron cerdas pun akan menggeser sinetron yang hanya menjual mimpi. Kita dituntut untuk kritis menyeleksi kelayakan sebuah sinetron. Hasut teman lain untuk tak lagi menonton sinetron yang hanya menjual mimpi dan tidak masuk akal. Kita layangkan kritik atau komentar lewat surat kabar, website atau blog internet sebagai tanda protes.

Bukan berarti secara mutlak saya menganggap bahwa menonton sinetron itu salah…Dengan menonton sinetron pun, kita bisa santai sejenak dari tugas sekolah yang menumpuk. Kita juga bisa melihat akibatnya jika misalnya terlalu sedih ketika patah hati atau jika terlalu egois pada orang lain. Sekali lagi, kita tidak bisa menilai sinetron hanya dari satu sisi saja, akan selalu ada kelebihan dan kekurangannya. Makin banyak sinetron, makin banyak kreatifitas tersalurkan. Semua tergantung pada kita sebagai konsumen untuk memilih sinetron yang cocok untuk kita

J o m b l O


Saksikanlah reality show-reality show yang ada di televisi Anda, bukan pada acara kontes menyanyi yang sedang marak disiarkan. Tapi, reality show semacam biro jodoh yang menggila lantaran pesertanya adalah kebanyakan remaja yang jomblo. Mereka mencari-cari kesempatan dalam acara itu untuk mendapatkan seorang pacar dan melepas kegerahan pada predikat jomblo mereka.

Jomblo. Begitu anak-anak muda sekarang menyebutnya. Bukan nama semacam makanan apalagi penyakit. Jomblo adalah sebuah status yang menempatkan diri mereka pada situasi belum punya pacar apalagi menikah. Dulu, istilah ini belum menjadi trend, mereka justru menyebut komunitas itu dengan sebutan single. Mungkin jika kita bertanya pada ayah atau ibu di rumah, kita tak akan mendapatkan jawaban yang pasti karena hanya segelintir orang tua yang memahami arti kata tersebut. Benarkah jomblo menjadi momok menakutkan bagi para remaja sekarang? Mungkin, bagi sebagian remaja. Apakah menjadi seorang jomblo’ers (istilah bagi penyandang status jomblo), artinya “tidak laku”? Oh…sungguh paradigma budaya dan media yang menyesatkan!

“Kenapa masih jomblo?”

Sungguh menohok ulu hati kala pertanyaan klise itu menggetarkan saraf pendengaran kita. Benar juga, kenapa masih menjomblo? Jawabannya ada pada diri Anda masing-masing. Mungkin karena belum siap menjalani hubungan yang lebih serius dari sekadar teman. Mungkin karena memang belum mendapatkan “surat izin” dari orang tua. Mungkin juga, karena kelajangan membawa kita pada kebebasan yang indah tiada tara. Terserah Anda, karena jomblo itu pilihan hidup. Tapi, jomblo juga bisa menjadi penyakit jika kita terlalu “nyaman” berada di dalamnya. Haruskah kita melanggar kesempurnaan sebagian ibadah kita demi sebuah status bernama jomblo? Itu pun merupakan paradigma yang tak kalah menyesatkan.

Positifnya, jomblo dapat dijadikan masa pengasahan dan pengujian segala potensi kita. Tak ada kata tak sempat untuk belajar yang rajin serta menyalurkan hobi dan bakat kita. Tengoklah buku non-fiksi hasil tulisan tangan komunitas FLP (Forum Lingkar Pena) yang berjudul Miss Right, Where Are You? yang menyajikan suka duka para jomblo’ers. Di dalamnya, Zaenal Radar T. menyimpulkan beberapa kerugian dari menjomblo yaitu sering diejek dan dianggap tidak laku, terkadang merasa kesepian, dan merana karena tidak bisa berdua-duaan dengan seseorang yang kita cintai. Tapi, tenang saja, efek dari poin yang baru saja disebutkan biasanya akan tenggelam dengan sendirinya ketika kita menemukan hikmah dari kesendirian tersebut. Berikutnya, penulis FLP ini mengungkapkan keuntungan menjadi seorang jomblo’ers yakni bebas pergi kemana saja tanpa ada yang melarang atau memonitori, hemat pengeluaran, tidak ada yang cemburu, dan terhindar dari kemungkinan berbuat dosa.

Percayalah, Anda bisa tetap menjadi orang yang bahagia meskipun menyandang status jomblo. Kejombloan bukanlah sumber dari ketidakbahagiaan, tapi ketidakikhlasan kita menerima keadaan lah yang membuat diri kita merasa tak bahagia. Tak perlu iri dan memusingkan orang lain yang asyik bersama pasangannya. Jangan pernah pula menganggap diri Anda tak disukai dan tak laku karena kejombloan. Sekali lagi, itu adalah paradigma menyesatkan. Mungkin Yang Di Atas mempunyai skenario yang lebih indah buat kita nantinya. Pastinya, Ia telah menyiapkan seseorang yang istimewa untuk kita saat kita telah siap melepas kelajangan itu.