Kado Ungu Untuk Naya (episode II - tamat- )

Senin, 22 Maret 2010

Menurutku, jalan yang kulalui ini lebih tepat disebut gang atau jalan setapak. Mungkin untuk dilalui kendaraan bermotor saja, hanya muat satu motor. Begitu padat, rata-rata bangunan rumah yang ada di sekitar jalan kecil itu terbuat dari kayu, bahkan aku melihat satu rumah yang atapnya hampir miring. Sungguh miris. Namun, keadaan sekitar jalan kecil itu ramai oleh anak-anak kecil bermain atau para ibu yang asyik berbincang-bincang sambil bercanda. Beberapa di antara mereka menatap asing pada aku, Kak Qoriah, dan Kayla. Mungkin mereka tahu kami bukanlah warga daerah itu.

Dengan melewati jalan kecil inilah, aku akan bertemu dengan Kak Andina. Kak Qoriah lah yang mengetahui keberadaan Kak Andina selama ini. Kak Andina sengaja menyuruh Kak Qoriah untuk tidak memberitahu siapapun tentang keberadaannya, termasuk aku dan mama. Seusai sholat dzuhur di Masjid Al Qadar tadi, aku meminta Kak Qoriah untuk mempertemukan aku dengan Kak Andina. Akhirnya Kak Qoriah mau juga. Kami pun berencana berangkat setelah Ashar. Kayla turut menemaniku. Aku sengaja tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada mama.

Kami sampai di sebuah rumah mungil yang terletak di samping musholla kecil. Rumah bercat putih pucat itu terbuat dari kayu dengan teras kecil yang hanya ditaruhi sebuah bangku kayu panjang. Beberapa pot tanaman menghiasi lantai teras itu. Tampak sederhana dari luar. Di rumah mungil inikah Kak Andina tinggal? Sungguh berbeda dibandingkan rumah megah yang biasa kudiami.

“Ini rumahnya…” ujar Kak Qoriah.

Aku mendekati pintu rumah itu. Mengetuknya dan mengucapkan salam. Lama tak ada jawaban. Kuulangi lagi salamku. Tak lama terdengar suara wanita menjawab salamku dan aku mengenali suara itu sebagai suara Kak Andina. Terdengar langkah kaki yang tergesa, pintu pun terkuak. Dan kudapati seorang wanita berjilbab abu-abu di ambang pintu. Wanita berwajah bersih meski tanpa polesan make up itu terdiam menghadapi tamunya, terlebih ketika melihatku. Tak sepatah kata pun diucapkannya.

“Kak Andin…”

“Naya…”

Kami berpelukan, kemudian larut bersama dalam suasana tangis yang haru. Dua tahun ini aku tak melihat kakak perempuanku itu, seorang yang sangat dekat denganku selain mama, yang dulu senantiasa mendengarkan semua cerita dari mulutku, senantiasa menghiburku kala gundah.

“Pasti Qoriah yang ngasih tahu kamu ya…?” tanyanya di sela tangis.

“Iya, aku yang maksa Kak Qoriah, Kak…”

“Maaf, Din. Tapi sepertinya memang sudah waktunya kalian ketemu lagi…”

“Nggak apa-apa, yah…makasih…”

Aku melepas pelukannya dan mengelus perut Kak Andina. Kurasakan perutnya membuncit.

”Kakak…hamil…?”

Kak Andina mengangguk sambil tersenyum,”sudah masuk bulan keenam…”

Sore itu, kami mengobrol dengan Kak Andina. Ternyata, setahun yang lalu, Kak Andina menikah dengan seorang laki-laki yang dipertemukan di majelis ta’lim. Namanya Faidi. Mereka melakukan, yang biasa disebut orang, ta’aruf, saat itu. Setahuku, proses ta’aruf itu dilakukan tanpa adanya pacaran, hanya perkenalan yang diwakili oleh seorang pihak ketiga. Jika cocok, maka proses tersebut dilanjutkan dengan lamaran kemudian pernikahan.

Dulu, Kak Faidi ternyata juga berkuliah di kampus yang sama dengan Kak Andina, hanya saja mereka tidak saling kenal saat itu karena berbeda jurusan. Laki-laki yatim piatu itu sekarang bekerja sebagai seorang guru madrasah tsanawiyah. Sementara, Kak Andina hanya membantu seorang tetangganya mengolah kerajinan tangan, kadang juga mengajari anak-anak pelajaran sekolah di daerah tersebut meski tanpa dibayar. Begitulah kehidupan sehari-hari mereka. Beruntungnya, mereka bisa mengontrak rumah dengan biaya cukup murah. Dan sore ini, Kak Faidi masih harus mengajar di madrasah itu.

Kak Andina sendiri, aku tak menyangka penampilan kakak perempuanku itu bisa berubah. Dulu ia tidak berjilbab, lebih sering memoles wajahnya dengan berbagai perawatan dan kosmetik. Tapi kini, ukuran jilbabnya bahkan sudah hampir menandingi yang biasa dikenakan Kayla. Pakaiannya juga longgar dengan bahan yang kubilang murah. Benar-benar sederhana, tapi ia tetap saja terlihat cantik. Kalau saja bukan karena Kak Qoriah, katanya, ia tidak mungkin berpenampilan seperti itu. Ya, dari dulu Kak Qoriah memang sahabat Kak Andina yang paling istimewa di mataku, tabiatnya sangat mirip dengan Kayla, karena ia juga aktivis dakwah di kampusnya. Kak Qoriah lah yang mengenalkan Kak Andina pada pakaian seperti itu. Terus terang, aku sedikit iri. Kak Andina yang dulu modis saja bisa berubah penampilan begitu, akankah hal yang sama terjadi juga padaku?

“Maaf, Nay…kakak nggak ngasih tahu kamu tentang pernikahan kakak ini. Kakak sebenarnya ingin nemuin kamu…tapi…keadaannya nggak memungkinkan…Kakak masih belum berani ketemu mama, apalagi laki-laki itu…Dulu, kan kakak sering sekali menghina dan menolak keberadaannya mentah-mentah…”

“Tapi, sekarang keadaannya udah beda, Kak…Mama udah nggak bahagia lagi dengan laki-laki itu. Si brengsek itu sering nyakitin mama, dia sering main kasar sama mama, nuduh mama selingkuh lah…padahal, mama nggak begitu, mama tetap kerja seperti biasa… Kak, kakak harus pulang. Kakak harus liat keadaan mama sekarang gimana…”

“Astaghfirullah…jadi mama sekarang gimana?” tanyanya dengan raut wajah cemas.

“Untuk sementara ini, mama baik aja, karena laki-laki itu lagi sibuk sama urusannya sendiri. Kak, please…pulang…aku yakin, mama juga udah kangen sama kakak. Kakak harus bantu kami untuk keluar dari masalah ini. Aku udah minta mama untuk menggugat cerai dia, tapi…entahlah, saat ini keadaannya belum bisa, kak…Please kak, pulanglah…”

Kak Andina tampak bimbang. Aku sangat berharap Kak Andina mau menemui mama. Dari matanya aku bisa melihat bias kerinduan itu. Hingga akhirnya, sebuah ungkapan kesediaan Kak Andina terlontar dari bibirnya, aku merasakan secercah harapan untuk memperbaiki dan menjalin kembali hubungan keluargaku.

***

Kutatap lagi langit malam di luar. Semilir angin berhembus. Langit yang kutatap tiap malam itu seolah tak berubah rupa, tetap kelam, dengan sedikit kerlip bintang. Di sudut kamarku, Kayla masih menekuri tafsir Quran-nya. Ia menawarkan diri untuk menginap di rumah, menemaniku. Aku sama sekali tak keberatan, justru menyambutnya suka cita. Sepertinya aku memang membutuhkan seorang teman seperti Kayla malam ini. Seorang teman yang bersedia menampung segala keluh kesah dan cerita-ceritaku.

Kalau dulu, ada Kak Andina dan sejak kepergiannya, aku tak menemukan sosok sepertinya lagi. Bahkan di antara teman-temanku, aku tak percaya mereka. Karena itulah aku menjadi pribadi yang tertutup. Tapi, Kayla berbeda. Dia layaknya seorang saudara kandungku. Seharusnya aku bersyukur mendapatkan teman seperti Kayla yang baik, cantik, cerdas, dan solehah. Selama sehari keberadaannya di rumah, aku berusaha untuk tidak menunda sholatku. Karena aku malu jika ia tahu aku sering melalaikan sholat.

Tapi, terus terang saja, entah mengapa aku termotivasi untuk melanjutkan ritual itu di hari-hari selanjutnya, tidak lagi menunda-nundanya. Bahkan usai sholat maghrib tadi, aku ikut mengaji bersamanya. Meski bacaanku sangat terbata-bata, Kayla dengan sabar memperbaikinya. Terus terang, untuk ibadah yang satu itu pun, sudah kutinggalkan sejak…ah, entah sejak kapan. Mungkin aku hanya belajar mengaji jika di sekolah dulu ada tes mengaji atau ketika di semester satu dulu ada praktikum agama Islam. Itu pun lebih sering kujalani dengan tidak serius. Aku meminta Kayla untuk mengajariku mengaji lagi dan ia pun menyanggupi.

Raut wajah Kak Andina terbayang lagi di mataku. Sebelum pulang dari rumahnya tadi, aku sempat bertemu dan diperkenalkan dengan Kak Faidi. Penampilan dan sikapnya sopan dan sederhana. Aku bisa melihat betapa bahagianya rumah tangga mereka. Pasangan yang serasi dan harmonis. Mungkinkah suatu saat kalau tiba waktuku menikah, aku akan menemukan pasangan seperti Kak Faidi. Tiba-tiba aku teringat Pradana, ikhwan yang kusukai itu, yang selalu membuat jantungku berdebar tak biasa tiap kali melihatnya. Mungkinkah akan kutemui laki-laki seperti itu untuk menemani sisa hidupku kelak? Ah! Kenapa aku jadi berpikir ke arah situ! Belum saatnya memikirkan hal itu! Tapi, berpikir tentang itu membuatku jadi tersenyum.

“Hayoo…Naya…kenapa tuh senyum-senyum sendiri…mikirin siapa…” tiba-tiba Kayla menegur di sampingku.

“Ah, nggak kok. Nggak mikirin siapa-siapa…Cuma membayangkan aja suatu saat keluargaku bisa bahagia lagi…”

“Kita sama-sama berdoa supaya mama Naya, Naya, dan Kak Andina bisa berkumpul lagi. Seandainya masih ada kesempatan untuk ayah tiri Naya sadar…”

“Udahlah, Kay, tekadku udah bulat. Aku nggak pingin laki-laki itu ada lagi di keluargaku. Titik!”

“Allah menimpakan cobaan seperti ini sama Naya karena Allah cinta dengan Naya…Tidak akan diuji seseorang hingga orang tersebut beriman…Cobaan ini sebagai teguran buat Naya, karena manusia itu ‘kan tempatnya khilaf, ada kalanya kita itu lupa dan mengabaikan Allah, kurang bersyukur atas semua nikmat yang Allah kasih. Karena itu, kita juga perlu introspeksi diri kita. Di balik setiap kesulitan, percaya deh, pasti ada kemudahan. Allah udah merencanakan jalan terbaik dan sesuatu yang indah bagi keluarga Naya. Saat ini, Naya hanya perlu bersabar, ikhtiar yang sungguh-sungguh, dan tawakkal, serahkan semua ini pada Allah”

Aku termenung mendengarkan kata-kata Kayla. Ada debar yang tak terdefinisi dalam dadaku ketika kuingat betapa selama ini aku sudah menyia-nyiakan kehidupanku. Ada sesal, kenapa aku menjadi makhluk Allah yang tak tahu caranya bersyukur? Mungkin kalau aku tak ditegur dengan cobaan macam ini, apalagi tidak diingatkan oleh teman seperti Kayla, aku takkan sadar. Tiba-tiba terbersit sesuatu di benakku. Memang harus ada revolusi pada kehidupanku yang kacau ini.

“Mmm…Kayla…aku boleh minta satu hal lagi nggak?” tanyaku sedikit ragu.

“Apa?”

“Aku ingin berjilbab. Karena kudengar, berjilbab itu wajib, ya ‘kan?”

Kayla memelukku erat dan aku merasakan kehangatan menjalar di sekujur tubuhku. Malam itu juga, sebelum kantuk datang, Kayla mengajariku cara berjilbab yang benar dan syar’i, katanya. Memang benar, berjilbab itu seharusnya menutup dada, bahan kainnya tidak tipis, dan tidak membentuk lekuk bagian tubuh yang dijilbabi. Bahkan ia juga menunjukkan beberapa dalil di Al Quran tentang jilbab. Aku mulai merasa senang mencoba-coba beberapa jilbab yang kebetulan kusimpan di lemari pakaianku. Kayla menyaranku memakai rok dan baju lengan panjang yang agak longgar. Tapi karena aku tidak punya rok panjang, untuk sementara aku tetap memakai celana panjang kain saja. Aku pergi tidur dengan perasaan bahagia. Tak sabar rasanya menyambut esok hari, hari bagi jilbab pertamaku.

***

Ragu-ragu aku masuk ke kelasku, menebak-nebak bagaimana reaksi teman-teman melihat penampilanku yang berubah 180 derajat ini. Sudah dua hari ini aku memakai jilbab. Kemarin memang aku belum mau masuk kuliah. Mama yang melihat penampilanku sempat kaget, tapi dia terlihat senang dengan perubahan ini. Mama pun suatu saat akan mencoba memakai jilbab. Selangkah demi selangkah, akhirnya aku masuk ke kelasku. Beberapa teman yang kutemui di teras kelas hanya terdiam memperhatikanku, beberapa lainnya yang ada di dalam kelas juga sama, hanya sebagian tersenyum-senyum menggoda.

“Cieee… ada bu haji baru nih…”

“Angin pa Nay? muncul-muncul udah jilbaban”

“Avril Lavigne kita udah insyaf…”

Aku hanya diam dan tertunduk menerima candaan-candaan itu. Aku segera duduk. Tak sengaja aku menangkap sosok Pradana juga tengah memperhatikanku dari ujung bangku di samping kiriku. Seulas senyum terpancar di wajah berwibawa itu. Aku menunduk lagi. Kata Kayla, sebagai seorang muslim, kita harus menahan pandangan terhadap lawan jenis yang belum halal baginya. Aku pun sempat merasa tersindir, secara positif, mengingat aku begitu sering memperhatikan Pradana selama ini, sehingga riak-riak rasa suka itu kian hari kian menjadi. Aku memang belum pernah pacaran, meskipun dulu ketika SMA hampir saja kulakukan. Karena pada dasarnya aku cukup tomboy, jadi aku anggap semua teman laki-lakiku sebagai teman biasa.

“Nggak usah dihiraukan kata-kata mereka…Nanti mereka juga terbiasa nggak ngejekin Naya…” tiba-tiba Kayla sudah duduk di sampingku.

Aku hanya tersenyum. Siang itu aku, Kayla, dan Meytri pulang bersama. Momen itu juga merupakan pertama kalinya aku akrab dengan Meytri. Ternyata ia juga gadis yang menyenangkan. Kami berpisah ketika jalan menuju rumah kami mulai berbeda jalur. Sesampainya di rumah, ketika aku membuka pintu, ayah tiriku sudah berdiri di ruang tengah dengan wajah tegang menatapku.

“Anak kurang ajar! Pasti kamu yang sudah menghasut mama kamu untuk menggugat cerai saya, iya ‘kan?!?!” tuduhnya ketus.

“Bukan hanya keinginan saya. Tapi mama juga memang menginginkan itu. Lagipula, itu lebih baik ‘kan daripada Anda terus jadi benalu dalam keluarga saya?!”

“Dasar tidak tahu di untung! Apa mau kamu sebenarnya, hah?!?” ujarnya sambil mencengkeram kuat lenganku, seperti bersiap melayangkan tamparannya di pipiku.

“Saya Cuma ingin mama bahagia, dan itu artinya Anda pergi dari kehidupan kami”

PLAKKK!!! Tamparan keras itu benar-benar mendarat di pipiku. Aku terhuyung mundur.

“Mau jadi apa kamu?! Hah?! Sok suci! Pakai pakaian kuno segala!” ujarnya sambil mencoba menarik jilbabku yang serta merta kutepis dan kupertahankan agar jilbabku tidak lepas.

BUUGH! Sebuah pukulan dengan Teflon mendarat di bahu laki-laki itu. Kak Andina! Dibelakangnya mama muncul. Laki-laki itu mengerang kesakitan.

“Pergi kamu, laki-laki gila! Tidak pantas kamu ada di sini! Ini rumah kami! Sudah nyakitin mama, sekarang kamu juga menyakiti adik saya! Pergi atau saya lapor polisi!”

Ayah tiriku itu tidak bisa mengatakan apa-apa akibat merasa kesakitan. Ia pun menghambur ke luar rumah dan pergi dengan sedannya. Aku segera memeluk Kak Andina, mama juga melakukan hal yang sama. Mama menangis melingkarkan kedua tangannya di bahu kami. Aku terharu karena akhirnya mama dan Kak Andina bisa bertemu.

Beberapa minggu kemudian, mama dan ayah tiriku pun resmi bercerai. Bahkan setelah itu, laki-laki itupun terbukti melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan diganjar hukuman penjara. Yang pasti, ia tak akan berani lagi mengusik keluargaku. Kak Andina dan Kak Faidi diminta mama untuk tinggal di rumah, mengisi kembali kehampaan di rumah yang hilang beberapa tahun belakangan ini. Apalagi, usia kandungan Kak Andina mulai menua, perlu ada penjagaan dan pemeriksaan rutin. Untunglah Kak Faidi tidak menolak, toh Kak Faidi tetaplah seorang suami dan guru yang bersahaja meski sudah tinggal di rumah megah.

Aku sendiri, semakin hari semakin mencintai penampilanku yang baru ini. Aku sudah sering memakai rok dan baju-baju yang longgar, serta jilbab yang menutup dada, meski tak selebar jilbab Kayla. Teman-teman yang dulu sering menggodaku lambat laun tidak meledekku lagi, justru yang laki-laki menghormatiku dengan tidak jahil menyentuhku seenaknya. Aku juga mulai bisa beradaptasi di lingkungan musholla. Ternyata jika diperhatikan aktifitas organisasi dakwah ini menyenangkan juga. Semoga, jika di periode selanjutnya ada perekrutan kader, aku bisa ikut bergabung. Kayla juga sering mengajakku ke tempat pengajian rutinnya tiap minggu. Dari sanalah aku belajar mengkaji agama, belajar mengaji, terkadang juga sharing dengan teman-teman lain. Sungguh menyenangkan. Kadangkala, jika kupikir, aku tak menyangka sampai pada jalan hidup seperti ini, sungguh Allah Maha Perencana keindahan hidup manusia-Nya.

Aku memang masih menyimpan rasa terhadap Pradana. Tapi sedikit demi sedikit rasa itu berusaha kutepis. Kadangkala, jika mengingatnya, aku terpikir, mungkinkah perubahan ini juga didasari perasaanku padanya? Bukankah pasti Pradana mendambakan wanita seperti Kayla atau pun jilbaber lain? Semoga tidak! Naudzubillah, jangan sampai perubahan ini bukan karena Allah. Bulan pun berganti. Tepat seminggu lagi, usiaku berubah menjadi kepala dua. Hhmm, agak berat mengakui kenyataan bahwa aku bukan lagi gadis usia belasan tahun. Tapi, di balik itu semua, aku bersyukur Allah telah menunjukkan jalan cinta-Nya yang kini tengah kutiti. Semoga di usia selanjutnya, aku bisa semakin mengukuhkan hati dan jiwa menuju ridho-Nya.

Sehari sebelum perubahan usiaku, entah mengapa subuh itu aku terbangun dengan tiba-tiba dengan perasaan tidak enak. Aku merasa memimpikan seseorang, seseorang yang sangat kusayangi. Dan ia seperti hendak meninggalkanku. Kuucap istighfar berkali-kali. Adzan subuh pun berkumandang. Aku segera bangun dan mengambil air wudhu, segar sekali rasanya. Usai sholat, aku kembali teringat mimpi itu. Aku mencoba berprasangka baik, menepis hal-hal negative yang mungkin terjadi. Tak sadar, aku tertidur lagi.

Alarm handphone-ku berbunyi tepat pukul 07.30. Aku bergegas bangun dengan tergesa. Aku ada kuliah setengah jam lagi. Tak bisa kubayangkan jika aku harus terjebak macet di jalan menuju kampus. Aku segera mandi lalu bersiap. Roti bakar kesukaanku yang disiapkan mama hanya kucomot sedikit lalu kubungkus plastik dan kumasukkan ke dalam tas. Segera aku melaju dengan skutermatic-ku. Benar saja, jalanan menuju kampus begitu padat pagi ini. Kendaraan-kendaraan hanya bisa merayap lambat, belum lagi kebisingan yang tercipta dari suara klakson kendaraan-kendaraan itu, semakin menyemarakkan pagi yang cerah. Perhatianku teralih oleh keributan di salah satu sudut jalan. Sepertinya terjadi kecelakaan. Naluri keingintahuanku bangkit. Sebisa mungkin aku menyalip di antara kepadatan kendaraan, sementara beberapa orang ramai mengerumuni tempat kecelakaan. Ketika beberapa orang membopong korban kecelakaan itu, aku tersentak. Aku mengenali korban tersebut.

“Kayla!”

Serta merta kuterobos kepadatan lalu lintas dengan kasar, beberapa orang tampak kesal karena ulahku. Aku tak peduli. Segera kudekati tubuh lemah Kayla yang dibopong orang-orang. Luka-lukanya tampak parah, entah bagaimana kronologi kecelakaan tadi, yang pasti kondisi Kayla kritis.

“Pak, dia teman saya, tolong bawa ke rumah sakit, Pak” pintaku pada seorang pembopong.

Seorang pengendara mobil menawarkan mobilnya untuk membawa Kayla ke rumah sakit. Aku mengikuti mobil itu dari belakang. Sesampainya di rumah sakit terdekat, Kayla segera dilarikan ke UGD. Dengan was-was, kutelepon Pradana.

“Pradana, Kayla kecelakaan. Cepat ke rumah sakit Parikesit ya”

Pradana yang kutelepon sepertinya juga panik tiba-tiba. Telingaku menangkap jelas pembicaraan dokter yang menangani Kayla dengan seorang pengantar tadi.

“Sedikit kemungkinan dapat tertolong, ia kehilangan banyak darah”

Aku merasa limbung. Kepalaku berat. Aku teringat mimpi subuh tadi dan kusadari yang muncul dalam mimpi itu adalah Kayla. Lalu, penglihatanku menjadi gelap.

***

Aku melangkah ke luar kelas tanpa gairah. Meskipun materi kuliah yang baru saja kupelajari sangat menarik, tapi tetap saja tak mengurangi kegundahan yang masih ada di hatiku beberapa hari ini, semenjak kepergian Kayla. Teguran Meytri di kelas tadi kutanggapi biasa saja.

“Kita semua juga merasa kehilangan Kayla, Nay. Tapi, nggak seharusnya kesedihan ini berlarut-larut. Jangan sampai kita membuat Kayla di sana juga sedih melihat kita”

Sekuat apapun motivasinya, tetap saja aku merasa tersiksa atas kepergiannya. Kayla sudah kuikrarkan sebagai sahabat baikku. Belum lagi setahun persahabatan ini, ia sudah meninggalkanku. Kutatap ujung koridor kelasku dimana diletakkan bangku panjang di sana, biasanya di sanalah, aku, Kayla, dan Meytri biasanya berkumpul, belajar bersama, bercanda sambil berbagi kue lapis Surabaya kesukaanku. Sejak sekarang, kenangan seperti itu takkan terekam lagi. Aku duduk termenung di bangku yang ada di ujung koridor. Meytri telah pulang duluan karena ada urusan mendadak. Kubuka sebungkus kue lapis Surabaya yang tadi sempat kubeli di toko kue. Kucomot perlahan sambil menahan tangis yang lagi-lagi memaksa keluar dari pelupuk mataku. Tapi aku tak bisa.

“Naya…”

Sebuah suara bariton memanggilku. Ternyata pemiliknya sudah berdiri tak jauh dariku. Pradana. Ikhwan yang beberapa bulan lalu baru kuketahui adalah sepupu Naya itu tersenyum tipis sebentar sambil melihatku. Di tangannya tergenggam sebuah bingkisan cantik berwarna ungu. Bingkisan itu ia sodorkan padaku.

“Dari Kayla. Sehari sebelum kecelakaan itu, dia menyiapkan kado ini buat kamu. Bahkan sebelum Allah memanggil dia, Kayla meminta saya untuk menyampaikan kado ini. Tolong diterima”

Kuterima kado ungu itu dengan haru biru di dada. Aku yakin, sebentar lagi tangisku benar-benar pecah.

“Tidak usah sedih lagi, Nay. Percayalah, Kayla pasti bahagia karena bertemu Allah”

“Makasih, Dan…makasih…” ujarku sambil tertunduk.

Perlahan air mataku menetes di pipi. Pradana mungkin melihatnya. Ia mengucapkan salam lantas pergi meninggalkanku. Kubuka kado ungu itu, Isinya sebuah buku berjudul “La Tahdzan. Jangan Bersedih, Berbahagialah!” karya Majdi Muhammad Asy-Syahawi dan selembar jilbab segi empat lebar berwarna ungu. Ya, Ungu, bahkan Kayla tahu warna kesukaanku, padahal aku belum pernah bilang. Kudekap erat kedua benda itu seraya memanjatkan doa untuk sahabatku, Kayla.

Bahagiakan ia di sisi-Mu, Ya Rabb…

Samarinda, 11 Februari 2010 (12.30pm)

0 komentar:

Posting Komentar

What do you think about this...???