Kado Ungu Untuk Naya (episode I)

Sabtu, 06 Maret 2010



Takkan ada lagi harapan…

Untukku…

Apalagi mengharapkanmu…

Memang takkan ada kesempatan

‘tuk menggapai hatimu

Terlebih jika mereka turut menginginkanmu…

Kuingin jadi yang setia untukmu

Menjagamu kala tergugah

Menghiburmu kala gundah

Menyertaimu kala sendiri

Membangkitkanmu kala terjatuh

Namun ku tahu, dirimu yang nyaris sempurna

Sulit kurengkuh…

Dapatkah kulupakan semua harapan itu?

Hingga benar-benar tak ada lagi kita…


Kupandangi lekat barisan puisi itu dalam diary note-ku. Pikiranku bagai kembali ke beberapa minggu lalu ketika kutulis ia, dengan hati yang teriris. Namun aku tak bisa mengatakan apapun. Mungkin ada tangisan, tapi tak juga mampu kuluapkan, hanya tersimpan dalam hati. Kini semuanya membuatku bingung, apa yang harus kulakukan. Hatiku hancur menerima kenyataan bahwa dia sama sekali tak mengnggapku. Aku…patah hati…Namun sebisa mungkin tak kutunjukkan itu, di depan teman-teman.

Ini tentang laki-laki itu. Namanya Pradana. Aku menyukainya, entah sejak kapan, mungkin sejak kutahu ia alim dan istiqamah. Ia satu angkatan denganku di Ilmu Komputer. Ia juga pengurus musholla kampusku. Di kelas, ia termasuk mahasiswa yang pandai. Nilai-nilai ujiannya hampir A semua. Ia berbeda menurutku, tidak seperti cowok-cowok lainnya, sangat menjaga pandangan dan etikanya dengan lawan jenis, itulah mengapa kukatakan ia istiqamah. Namun, ia tetap friendly dengan siapapun.

Aku…benar-benar menaruh harapan padanya. Meskipun aku sadar, harusnya perasaan ini tak kubiarkan begitu saja, harusnya tetap ada batas. Tapi, bagaimana lagi, semua sudah terlanjur kurasakan. Aku tak bisa menahan perasaan yang meluap-luap ini. Tapi, semuanya selalu tersembunyi lebih dalam lagi. Aku tak mampu mengatakan, dan takkan mungkin bisa mengatakannya. Karena…aku harus menjaga batasan ini. Jangan sampai perasaan ini diketahui oleh siapapun.

Aku tersentak ketika bahuku ditepuk oleh seseorang. Kayla, seorang teman sekelasku.

“Ngelamun aja…”

“Hmm… Cuma ngantuk…” ujarku sambil mengucek-ngucek mata, padahal sedari tadi aku melamunkan perasaanku ini.

“Kenapa ya, akhir-akhir ini saya sering banget liat Naya melamun…Naya nggak sakit kan? Nggak lagi ada masalah?” Tanya Kayla.

Aku menatapnya. Dari matanya yang indah itu aku bisa melihat betapa ia begitu tulus memperhatikanku. Aku menyukainya matanya yang bulat dan indah itu, apalagi dengan bulu matanya yang lentik itu.

“Nggak apa-apa kok, Kayla. Aku nggak sakit ataupun kenapa-napa”

“Hmm, Kalo Naya ada masalah atau perlu bantuan saya, bilang aja. InsyaAllah saya bisa bantu,” ujarnya sambil tersenyum. Jujur, aku pun menyukai senyumnya.

“Naya abis ini mau kemana? Ikut saya ke musholla yuk, istirahat di sana. Mata kuliah selanjutnya kan masih satu jam lagi,” ajaknya.

“Mmm, aku mau di sini dulu, Kay”

Kutolak ajakannya ke musholla secara halus. Entah sudah beberapa kali aku menolak ajakannya untuk mengunjungi markas anak-anak alim itu. Kayla tersenyum. Mengucapkan salam kemudian berlalu dari hadapanku. Jujur, aku masih malas beribadah. Dan jika aku berada di sana, aku selalu bertemu gadis-gadis seperti Kayla. Berjilbab lebar, Berbaju longgar, bicaranya santun, senang berdiskusi dan mengkaji agama. Aku hanya merasa tidak pantas berada di sana. Mungkin aku akan merasa berbeda jika berkumpul bersama orang-orang seperti itu. Aku juga khawatir dikucilkan karena “perbedaan” itu.

Pernah juga dulu, ketika di semester awal, Kayla mengajakku bergabung di organisasi musholla. Aku bukanlah orang yang senang berorganisasi. Kuakui, aku memang study oriented, sangat mengejar yang namanya prestasi akademik. Maka tak heran, hingga saat ini, aku termasuk mahasiswa yang selalu mendapat IP tinggi di kelas, meskipun masih kalah dengan Pradana. Dan sekali lagi, aku bukanlah orang yang tertarik mempelajari agama. Aku memang Muslim, tapi aku bukanlah orang-orang seperti Kayla dan teman-teman musholla-nya itu. Akhirnya, ajakan Kayla itupun kutolak juga.

Di kelasku, kelas jurusan Ilmu Komputer, ada 35 mahasiswa. Dua puluh mahasiswa dan lima belas mahasiswi. Di antara lima belas mahasiswi tersebut, hanya lima orang yang berjilbab. Namun di antara lima orang tersebut, hanya dua orang yang kuanggap berjilbab dengan benar. Selain Kayla, ada juga Meytri. Meytri juga anak musholla seperti Kayla. Style mereka persis sama. Hanya mereka berdua dari kelasku yang bergabung di musholla, tapi itu tertutupi karena cukup banyak cowok di kelasku yang juga bergabung di musholla. Sementara jilbaber lainnya, selain masih menggunakan jilbab kecil yang mencekik leher, juga masih pacaran dan bertingkah layaknya perempuan tidak berjilbab, centil! Uh! Aku tidak suka cara mereka yang seperti itu.

Dan Kayla-lah yang selama ini sepertinya tidak pernah membeda-bedakan teman di kelas. Ia memang gadis yang supel. Tapi itu tak membuatnya terwarnai oleh kebiasaan buruk teman-teman di kelas. Dengan yang laki-laki, ia tetap bisa menjaga pergaulannya. Dengan yang wanita, ia tetap ramah dan senantiasa mengajak mereka agar lebih bersikap “anggun”. Hanya Meytri yang kurasa sedikit tertutup. Ia seperti hanya mau berteman dengan Kayla. Walau kadang tetap ramah dengan teman lain. Mungkin juga karena ia orang yang pendiam.

Aku diam-diam mengagumi mereka, Kayla dan Meytri. Terlebih Kayla, yang selama ini selalu care denganku. Selalu menemaniku kala sendiri. Sebab, aku memang penyendiri. Tak jarang, teman-teman di kelas menganggapku aneh dan misterius. Hampir jarang aku bergaul dengan teman-teman di kelasku. Tapi Kayla, dialah yang selama ini selalu mendekatiku, mengajakku belajar bersama, pergi bersama, meski kadang kutolak ajakannya. Seperti yang baru saja kulakukan. Aku sungguh malu jika berjalan dengannya. Bukan karena kekurangannya, justru karena diriku sendiri. Apa kata orang, melihat gadis seanggun dan sealim Kayla disandingkan dengan aku yang nyaris urakan. Jangankan berjilbab, pakaianku saja hampir mirip pakaian laki-laki. Orang-orang pasti akan membanding-bandingkan kami berdua.

Aku mendengar suara langkah seseorang berjalan di koridor tempatku duduk. Aku menoleh kearah suara itu. Aku terpana sejenak. Pradana. Ia melihatku, tersenyum tipis, kemudian mengalihkan pandangannya. Ada desir halus mengalun di relung hatiku. Ia melewatiku, tanpa sapa. Aku ingin menyapa, tapi…ah, aku tak berani. Kupandangi lekat punggungnya yang bidang dan kian menjauh itu. Lalu menghilang di tikungan tangga menuju lantai dua. Aku menghela nafas panjang. Sejenak, aku merasakan debar yang luar biasa tadi, ketika Pradana tersenyum dan melewatiku begitu saja. Tapi aku juga gugup! Sungguh, mungkin baru kali ini aku merasa benar ketika jatuh cinta dengan seseorang.

Tapi, aku sadari kembali perbedaanku dan Pradana. Kurang lebih saja dengan aku dan Kayla. Malah, kupikir Pradana lebih cocok dengan Kayla. Tapi, selama yang kutahu, tak ada apa-apa antara mereka. Hanya sebatas teman dan rekan satu organisasi di musholla. Seperti yang telah kukatakan, memang cukup banyak cowok di kelasku yang bergabung di musholla, tapi hanya Pradana yang menonjol di antara mereka. Dan aku…jatuh cinta pada laki-laki yang mereka sebut ikhwan itu.

***

Aku terduduk di ambang jendela kamarku yang berada di lantai dua, menatap jauh pada langit yang kelam. Hanya satu bintang yang tampak terang di sana, sementara yang lain mungkin tersembunyi awan pekat. Di atas spring bed, Acer 4732-ku masih mendendangkan Tomorrow’s Way yang dinyanyikan Yui. Entah telah berapa kali winamp me-repeat lagu itu, tapi aku menyukainya meski tak begitu mengerti artinya. Angin malam berhembus, memainkan anak-anak rambut sebahuku. Kadangkala, di musim kemarau seperti ini aku rindukan datangnya hujan. Senang rasanya berada dalam semarak hujan yang turun ke bumi. Semua yang kurasakan seolah terselubungi. Tangis, sedih hati, duka, semua itu dapat kusembunyikan di balik hujan. Malam ini, sungguh, aku sedang tak ingin melakukan apa-apa, kecuali duduk berdiam di ambang jendela, merenungi apa yang sedang kujalani saat ini.

BRAAKKK!!! AHHH…

Renunganku terusik oleh suara ribut di luar kamarku. Suara benda dibanting dan rintihan seorang wanita. Uh! Ayah tiriku berulah lagi! Aku beranjak keluar kamar. Baru saja kubuka pintu, aku sudah harus melihat wanita yang telah melahirkanku terduduk merintih di sudut ruang tengah lantai dua sembari memegangi pipinya yang memerah. Sebuah pajangan kayu yang dulu kubeli dari Jogja berserakan dan patah di sekitarnya.

“Mama!” Aku segera menghambur ke wanita itu dan membantunya bangkit. Kutatap pria jangkung dan gagah di hadapanku dengan benci. Ia pun menatapku dengan sorot mata kesal.

“Heh! Berani sekali Anda menyakiti ibu saya, Pak? Memangnya apa salah ibu saya?! Hah??!!” tanyaku kasar pada pria itu. Semenjak dia kerap bersikap kasar, aku tak sudi memanggilnya Papa.

Pria itu mendekat tergesa.

“Anak kecil, tau apa kamu?! Ibu kamu itu sudah ketahuan berselingkuh! Dasar perempuan tak tahu diri!” ujarnya memaki.

“Jangan sembarangan ya, Pak. Saya kenal ibu saya. Dia tidak mungkin melakukan itu! Memangnya Anda punya bukti apa??” tanyaku ketus.

“Lihat itu!”

Ia menunjuk pada beberapa lembar foto yang terletak di atas meja. Terlihat di foto itu, mama dan seorang pria yang tidak kukenal.

“Sekarang kamu tahu ‘kan siapa ibu kamu sebenarnya!” ujar pria itu, kemudian pergi.

“Ma…?”

Aku menyodorkan foto-foto itu kepada mama yang masih menahan tangis, mencoba meminta kepastian atas tuduhan ayah tiriku. Mama menggeleng, masih sambil memegangi pipinya yang lebam karena dihantam pajangan kayu tadi.

“Mama nggak selingkuh, Naya…Mama…Mama nggak selingkuh… Itu teman lama Mama…Dia juga sudah beristri…dan istrinya pun teman baik Mama…Papamu itu nggak mau mengerti Mama…Percaya sama Mama, Nay…” ujar Mama di sela isak tangisnya.

Aku memeluk wanita tersayangku itu dengan iba. Aku yakin Mama tidak berbohong, tidak mungkin! Mama terus menangis di pelukanku. Di luar, terdengar suara mobil ayah tiriku, ia pasti pergi lagi entah kemana. Begitulah kebiasaannya tiap terjadi pertengkaran dengan Mama. Menjelang subuh, baru ia kembali dengan penampilan berantakan seperti dari bar. Aku segera mengantarkan mama ke kamarnya dan mengobati lebam pipinya. Kuminta mama untuk istirahat.

Entah sudah ke berapa kalinya pertengkaran macam ini terjadi antara mereka berdua. Ayah tiriku kerap menuduh mamaku berselingkuh. Mereka memang sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaan. Sangat jarang punya banyak waktu bersama di rumah. Awal pertemuan mereka dulu karena mereka rekan kerja, meskipun berbeda official. Mereka menikah saat aku masih SMA, sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Ayah kandungku meninggal karena penyakit tumor otak ketika aku masih SD. Semenjak itu, mama lah yang mengurusi biaya kehidupan kami. Sebenarnya, aku punya seorang kakak perempuan, Andina namanya. Tapi dua tahun yang lalu ia kabur dari rumah karena tidak setuju mama menikah lagi dengan ayah tiriku. Ia benar-benar menolak keras kehadiran laki-laki itu di tengah keluarga kami, saat itu aku pun tak mengerti alasannya menolak pria itu. Sementara mama tetap kukuh menikahi pria itu. Akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi. Sempat ia mengajakku, tapi mama melarang. Dan sekarang, aku baru sadar, Kak Andina benar, pria yang sampai saat ini masih ayah tiriku itu sering menyakiti mama. Kadang kala aku merindukan Kak Andina, tapi kemana aku harus mencarinya, jejaknya di kota ini seolah benar-benar tak berbekas. Sudah kucoba menghubungi teman-teman terdekatnya, tapi nihil.

***

Kejadian malam itu, benar-benar mengacaukan pikiranku. Aku meminta mama untuk izin saja dari pekerjaannya, aku pun sengaja tidak masuk kuliah demi menjaga mama. Aku khawatir kalau ayah tiriku pulang, nanti mama akan jadi sasaran kekasarannya lagi. Aku sudah menghubungi Kayla bahwa aku tidak akan masuk selama beberapa hari di kampus. Selang dua hari ketidakhadiranku, Kayla datang mengunjungiku di rumah.

“Assalamu’alaikum, Naya…” ucapnya saat aku membuka pintu. Senyum teduh itu, akhirnya kulihat lagi.

“Wa’alaikumsalam…Kayla, ayo masuk…”

“Naya sakit ya? Kok nggak masuk sih, surat izin juga nggak ada…”

“Mmm…aku nggak sakit, Kay…Aku memang lagi ada urusan di rumah yang nggak bisa kutinggalkan, dan masalah surat…maaf, aku belum sempat buat…”

“Ini saya bawain kue buat Naya, semoga Naya suka…Naya sendirian aja di rumah?” ujarnya sambil menyodorkan bungkusan kotak.

Kuintip isi bungkusan itu,”Ada mama di kamar. Bibi ada di dapur lagi makan. Wah, kue lapis Surabaya, kamu kok tahu aku suka ini, Kay? Makasih ya…”

“Iya, dulu kan Naya pernah bilang sama saya…”

Aku mencoba mengingat-ingat kejadian itu. Astaga, itu ‘kan satu tahun yang lalu, saat kami masih sama-sama menjadi mahasiswa baru. Aku tak menyangka Kayla masih ingat hal kecil macam itu. Aku jadi merasa malu, selama ini lebih sering mengabaikannya.

“Siapa, Nay?” tiba-tiba mama muncul di ruang tamu.

“Teman Naya, ma…Kayla…dulu Naya pernah cerita ‘kan?”

Kayla segera menyalami mama. Kayla terlihat tampak bingung melihat lebam di pipi mama.

“Maaf, Tante. Tante lagi sakit ya? Pipinya kenapa, Tante?” Tanya Kayla. Ia memang gadis yang punya keingintahuan besar.

Mama melihat ke arahku, memintaku untuk memberi penjelasan pada Kayla.

“Mama habis jatuh, Kay…”jawabku.

“Naya, jujur aja…nggak apa-apa kok…” pinta mama. Mungkin karena mama merasa Kayla bisa dipercaya. Mama memang punya insting yang kuat meski hanya melihat dari fisik orang saja.

Aku mengajak Kayla duduk di sudut taman masjid yang terletak tak jauh dari rumahku, Masjid Al Qadar. Sebenarnya Kayla yang tadi mengajakku sholat dzuhur di masjid. Masih ada waktu tiga puluh menit untuk berbincang-bincang. Sebagian penghuni kompleks mulai berdatangan. Siang itu memang cukup terik, tapi suasana taman masjid yang rimbun dan tenang tidak lantas membuatku gerah. Hmm, jujur saja sholatku masih malas-malasan, sering sengaja kutunda. Jangankan sholat di rumah, di masjid saja hampir tidak pernah.

“Mama disakiti ayah tiriku, Kay…Beliau dituduh selingkuh…Padahal nggak, ayah tiriku Cuma salah paham. Puncaknya beberapa malam yang lalu, ayah tiriku marah besar, mama dipukul di pipinya, dan…kamu bisa lihat ‘kan keadaannya…Mama udah sering menerima perlakuan seperti itu”

“Astaghfirullah…kasian banget…sekarang ayah Naya kemana?”

Aku menggidikkan bahu,“Nggak tahu deh, kalo nggak sibuk sama kerjaannya, paling juga maen perempuan kali…”

“Ya Allah, Naya…Jangan su’udzon gitu deh...Sekarang, Naya harus bisa semangatin mama Naya. Kalo memang udah kasus KDRT begitu, lebih baik lapor aja ke komnas perlindungan perempuan. Saya bisa minta bantuan teman-teman di BEM atau kemuslimahan untuk bantu Naya…”

“Nggak usah, Kay. Biar aku dan mama yang selesaikan ini semua. Aku sudah bicara sama mama, untuk minta cerai aja”

Kayla terdiam. Terlihat iba di matanya untukku.

“Sayang ya, kenapa masih banyak orang yang nggak mengerti makna dari sebuah pernikahan. Pernikahan kan menyempurnakan sebagian agama Allah. Tapi, kalau menikah tujuannya untuk menyakiti pasangannya atau sekarang sudah bersikap kasar begitu, ya…itu termasuk yang tidak diperbolehkan…”

“Hhhh…doain aja deh, Kay, semoga masalah ini bisa cepat selesai. Aku juga nggak tahan ngeliat mama begitu terus. Janji ya, jangan kasih tahu siapa-siapa. Aku dan mama percaya sama kamu”

Kayla mengangguk. Lantunan ayat suci Al Quran mulai diperdengarkan dari speaker masjid. Beberapa menit lagi, adzan dzhuhur berkumandang. Kayla mengajakku beranjak menuju ke dalam masjid. Baru beberapa meter aku beranjak dari tempat kami duduk, aku melihat seorang wanita bergamis hitam dengan jilbab warna senada hendak memasuki masjid juga. Aku seperti pernah mengenal wanita itu. Aku mencoba mengingat-ingat.

“Kak Qoriah!” seruku pada wanita itu.

Wanita berjilbab hitam itu menoleh, mengernyitkan dahinya ketika melihatku, lantas tersenyum. Aku mendekatinya. Ia teman baik Kak Andina dulu dan aku juga mengenalnya baik.

“Naya, apa kabar?” tanyanya sambil menyalami dan mencium kedua pipiku.

“Baik kak…Kakak sendiri?”

“Alhamdulillah baik, adikku sayang…Aduh, udah lama ya kita nggak ketemu…kangen rasanya…Kak Andin…” Kak Qoriah memotong ucapannya sendiri, agak kikuk.

“Kak Andin kenapa Kak? Kakak tahu dimana Kak Andin? Dimana dia Kak? Kasih tahu aku…” aku memaksa Kak Qoriah.

“Nggak, kakak nggak tahu dimana Kak Andin…”jawabnya.

Aku merasa ia menutupi sesuatu,“Kakak bohong, please kasih tahu aku Kak…Aku dan mama lagi butuh dia…Please…” kali ini aku memohon.

Kak Qoriah tampak bingung.


to be continued...

0 komentar:

Posting Komentar

What do you think about this...???