Sabtu, 21 Juni 2008

Setelah melewati segala cobaan...
Setelah menghadapi berbagai godaan...
Setelah susah payah mendaki bukit tertinggi...
Setelah semua air mata tumpah ke bumi...
Akhirnya saya...
Saya...


SAYA LUUUULLLLUUUUUUUUUUUUUUUUUUSSSSSS................




Malu Kepada Allah


Pada suatu hari, Abu Muslim sampai ke rumahnya. Istrinya sudah menyambutnya di depan pintu.

Dengan wajah sedih, istrinya berkata,”Tidak ada kayu di rumah kita yang bisa digunakan untuk menghangatkan tubuh dari musim dingin yang menggigit ini.”

Abu Muslim menjawab dengan hati pilu,”Di dalam sakuku tidak ada uang dinar atau dirham untuk membeli kebutuhan kita!”

Istrinya menyahut,”Bagaimana bisa kau mengeluh fakir dan tidak punya apa-apa, padahal engkau adalah orang yang paling dekat dan dihormati khalifah? Pergilah ke sana dan jelaskanlah kepadanya keadaan kita, bahwa kita sangat kekurangan, fakir, dan perlu bantuannya segera. Aku yakin, khalifah pasti membantu dan tidak akan membiarkan kita hidup fakir.”

Abu Muslim menjawab,”Na’udzubillah, aku berlindung kepada Allah kalau sampai aku melakukan hal itu. Aku sangat malu kepada Allah. Kalau sampai minta bantuan kepada makhluk ciptaan Allah, padahal Allah Maha Pemurah. Aku tidak mungkin meminta bantuan kepada selain Allah.”

Lalu Abu Muslim keluar dari rumahnya dan pergi ke masjid. Setibanya di masjid, dia langsung shalat dua raka’at.

Setelah itu, dia berdzikir, beristighfar, dan berdoa,”Ya Allah, ya Rabbi, wahai Tuhan yang Maha Mengetahui rahasia, Engkau Mahatahu bahwa aku malu jika meminta pertolongan selain kepada-Mu. Wahai Tuhan yang luas kemurahannya, karuniakanlah padaku gandum, terigu, adas, minyak, dan kayu bakar. Karuniakan pada istriku, pakaian dan kerudung, dan karuniakan pada anakku pakaian dan sapi untuk diminum susunya. Ya Allah, kabulkanlah doaku. Amin.”

Kebetulan. Saat itu, di dalam masjid ada seorang lelaki yang termasuk salah satu pengawal istana khalifah. Pengawal itu merasa aneh mendengar doa itu, cepat-cepat dia bergegas keluar masjid dan langsung menuju istana. Dia ingin menemui khalifah untuk menceritakan apa yang didengarnya di dalam masjid.

Begitu sampai di hadapan khalifah, dia berkata,”Aku melihat sekarang ini ada seorang lelaki di masjid yang berdoa pada Tuhannya dan meminta hal-hal yang aneh.”

Lalu, dia menyebutkan hal-hal yang diminta oleh lelaki-yang tak lain adalah Abu Muslim-itu kepada khalifah.

Ketika mendengar hal-hal yang diminta itu, khalifah tertawa dan berkata,”Aku yakin, aku tahu siapa lelaki yang berdoa di dalam masjid itu. Aku yakin dia adalah Abu Muslim. Dia seorang lelaki yang sangat malu kepada Allah. Sekarang, coba kau ulangi lagi isi doanya. Aku ingin mengirim barang-barang yang dimintanya itu ke rumahnya secepatnya sebelum dia keluar dari masjid. Setiap satu barang yang ia minta, kirim dua.”

Sementara itu, Abu Muslim tetap berada di dalam masjid beberapa saat lamanya untuk membaca Al-Quran dan berdoa kepada Tuhannya. Setelah dirasa cukup lama, dia keluar dari masjid dan pulang ke rumahnya. Sampai di rumah, ia disambut istrinya dengan panuh rasa gembira. Sang istri menyambutnya dengan penuh kehangatan.

Istrinya berkata,”Coba renungkan Abu Muslim, sekarang kita tidak kekurangan lagi. Ini tak lain karena kau mau mendengar nasihatku. Akhirnya, kau pergi juga ke tempat khalifah.”

Abu Muslim terkejut dengan ucapan istrinya. Dia bersumpah bahwa dia tidak pergi menemui khalifah. Bahkan, dia tidak berjumpa dengannya selama satu minggu.

Istrinya lalu bertanya,”Kalau begitu, ceritakan kepadaku, kemana kau pergi? Kepada siapa kau mengadu?”

Abu Muslim menjawab,”Aku pergi ke masjid dan mengadukan keadaan kita kepada Allah swt. Sebagaimana kau ketahui selama ini, hai Ummu Muslim, aku sangat malu kepada Allah kalau sampai Dia melihat aku minta tolong kepada selain Dia.”

Seketika itu, istrinya meneteskan air mata, terharu. Dia bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada suaminya.

Dia berkata,”Alangkah mulianya jiwamu! Alangkah indahnya pembuatanmu, Suamiku! Alangkah pengasihnya Allah yang tidak pernah melupakan hamba-Nya!”

Dikutip dari kumpulan kisah teladan, Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy




Kita semua pasti udah tahu dari berita bahwa ada sekelompok anak perempuan yang melakukan aksi pengeroyokan pada sejumlah anak perempuan juga. Mereka ini menamakan diri mereka genk Nero (Neko-Neko Dikeroyok). Mereka biasa melakukan pengeroyokan pada beberapa remaja wanita apabila para remaja wanita tersebut mengikuti gaya berpakaian mereka atau ketika ada remaja wanita yang berniat menjadi anggota genk Nero ini.

Dari sebuah video yang direkam melalui handphone, terlihat dua orang anggota genk Nero memploncoi habis salah seorang remaja perempuan yang ingin ber

gabung dalam genk. Remaja berbaju merah tersebut terlihat pasrah dengan segala perlakuan anggota genk yang tidak ampun memberinya tamparan, pukulan, makian, bahkan mendorong kepalanya. Video lain pun menunjukkan “aktivitas” sebuah genk motor perempuan ketika mereka bersama-sama mengeroyok seorang remaja wanita di sebuah jalan sepi. Benar-benar brutal! Tak kalah brutal dengan apa yang terjadi pada peristiwa Monas beberapa waktu lalu.

Saya benar-benar ngeri melihat perlakukan anak-anak perempuan tersebut. Seperti bangsa primitif cara mereka “bergaul”. Padahal usia mereka masih belasan, mereka masih SMA, tapi mereka telah mencoreng harga diri sekolah mereka dengan tindakan bodoh seperti itu. Dan yang lebih penting lagi, mereka juga telah menodai harkat dan martabat mereka sebagai seorang WANITA!

Terus terang saja, di sekolah saya p

un masih banyak genk-genk seperti mereka, namun apa yang mereka (Genk Nero) lakukan sepertinya baru kali ini saya lihat.

Saya pun mempunyai beberapa teman dekat dimana kami pun juga punya nama genk-genk an. Tapi, kami tak pernah menyakiti sesama teman dan juga antargenk. We’re living peace. Anggaplah itu Cuma sekedar seru-seruan, it’s only a name. Prinsip dan pandangan kami bahkan beda, tapi kami tak pernah terlalu ekstrem memandang bahwa dalam suatu genk harus punya pikiran dan prinsip yang sama. Intinya, keragaman tercipta dalam suatu kelompok. Kalau bagi para perempuan binal seperti mereka, Nero artinya Neko-Neko Dikeroyok, tapi bagi saya Nero itu Neko-Neko, Ora Opo-Opo (sing penting, peace y’all!!!).

Ah...aksi brutal itu terus membayangi pikiran saya, bagaimana seandainya di kota kecil tempat saya tinggal ada juga yang seperti itu? Bagaimana kalau saya jadi target pengeroyokan mereka? Uh... Waktu dulu ikut latihan PBB saja saya sudah menyerah, gimana dengan yang seperti Genk Nero lakukan itu? Saya juga heran, emang terbuat dari apa sih hati para perempuan Nero itu sampai-sampai tega melakukan tindakan seperti itu? Mengeroyok! Apakah mereka merasa diri merekalah the most perfect? Kalau diibaratkan wanita di zaman Rasulullah dulu, mereka itu seperti Hindun, wanita paling kejam dalam peperangan karena doi udah ngebunuh pamannya Nabi SAW, Hamzah yang pemberani, trus merobek dadanya serta memakan jantung Sang Singa padang pasir itu. Kayaknya mereka juga mau nyaingin para “jagoan” STPDN deh atau juga penindasan bangsa Israel terhadap Palestina. Woi!!! Malu tuh sama Ibu Kartini...MALU...!!! Udah susah-susah dikasih emansipasi, justru diselewengkan! Payah...! Payah Parah...! Heh, Genk Nero, bayangin aja deh kalo kalian yang diperlakukan seperti itu!

Yang pasti, Alhamdulillah mereka udah diserahkan pada yang berwajib dan semoga mereka bisa menyadari kekhilafannya selama ini. Tapi, saya percaya, masih banyak “genk Nero” lain yang mungkin bakal lebih sadis lagi. Hhh... Saya sih Cuma mau saran, bikin genk-genk an sih sah-sah aja, asalkan kegiatannya positif, oke-oke aja lagi! Tapi udah gak zaman deh kalau seandainya ada orang yang salah sama satu anggota trus main keroyokan begitu. Gak zaman...! Primitif...! Apalagi buat para genk cewek, kenapa sih harus pake otot, bukan pake hati nurani? Bukankah wanita diciptakan dengan kepekaan perasaannya? Be a good woman, girls! Liat deh lebih luas, mungkin diseberang sana, ada seorang wanita yang kehilangan keluarga akibat ulah para zionis Israel, ada seorang ibu yang sedih meratapi nasibnya gara-gara gempa di China, ada TKW yang mati-matian bekerja lalu disiksa majikannya pula, ada remaja wanita yang rela ngebotakin kepalanya demi protes pada pemerintah Perancis yang membuat peraturan bahwa gak ada yang boleh pake jilbab di negara itu. Sekali lagi deh buat Genk Nero atau genk perempuan apapun deh, siapa sich lo? Lo ‘kan Cuma seorang perempuan yang juga lahir dari perempuan biasa? Lo belum tentu ngerasain penderitaan para wanita seperti yang tadi saya sebutkan ‘kan?

Oke, selamat menyebarkan kedamaian atas nama genk kamu...

Di Antara Sida

Senin, 09 Juni 2008

...saya mencari laki-laki yang romantis untuk membuat hidup saya menjadi lebih humanis...
(Gile loh! This isn't the right time!)






Sadiskah jika saya berharap...
Afgan...! Don't leave me alone doooonnnkkkk...!!!
Tapi...
Mereka telah berdua...

Dan saya...Berada diantara mereka...


Cinta Seharga Nilai Kimia



“Jangan lupa ya, minggu depan kita ulangan kimia,”suara Bu Tika yang meskipun lembut, terdengar bagai geledek menggema siang itu.

Spontan warga XII IPA 1 berkicau riuh rendah. Ada yang mengeluh pasrah, ada yang mengeluh kesal, ada yang mengeluh bahagia (Lho?!), bahkan ada yang mengeluh,”lapar...”. Bu guru cantik berkacamata itu berlalu meninggalkan kelas XII IPA 1 yang meriah dengan warna hijau-kuning itu seiring bunyi bel pulang berbunyi.

Ingrid melangkah gontai dengan perut keroncongan seperti acara musik di TVRI. Ulangan lagi...nggak lulus lagi...remidial lagi...batinnya mengomel. Wajahnya ditekuk sedemikian rupa membentuk sudut <>o. Kerutan-kerutan dahinya bagai lukisan abstrak tanpa dimensi, hanya keruwetan terbaca. Bibirnya jadi selancip kuncup tulip. Kini, sambil berjalan, ia perbesar gaya yang bekerja di atas permukaan sepatu hitamnya lewat hentakan-hentakan penuh kekesalan.

“Muke lo kenape tuh?” tiba-tiba Intan muncul di sampingnya, membawa satu kresek besar botol-botol bekas air minum.

“Huhuw...gimana nih, Tan? Minggu depan ulangan kimia...”rengek Ingrid. Tangannya menarik-narik kresek botol bekas milik Intan hingga melar.

“Apaan sih lo?! Tarik-tarik!” Intan menghardik tangan usil Ingrid. Ingrid terdiam, masih dengan wajah fotogenicnya yang manyun.

“Bantuin gue, Tan...Gue nggak mau remidial lagi...Bosen! Pas bab Sifat Koligatif Larutan, gue gatot! Reaksi Redoks, apalagi! Sekarang Elektrolisis dan Elektrokimia? Huuaa...Gue pusing!”

Intan mendengus mendengar curhat lama sahabatnya itu. Lo kira gue nggak begitu apa? Panas luar-dalam, tauk! Rutuk Intan dalam hati.

“Lo yang duduk face to face sama guru aja begitu, gimana gue yang duduknya sejauh seratus depa dari papan tulis,” ucap Intan, hiperbola!

“Mau duduk dimana juga, kalo materinya nggak kreatif gitu, siapa yang mau melek!”

“Kreatif? Lo kira kimia itu mading apa?”

“Maksudnya ya...nggak menarik. Pengajarnya juga!”

“Masalahnya, mata kita di-romusha oleh mata belonya Bu Tika untuk selalu setia setiap saat melototin papan tulis. Ketahuan ngantuk, bisa-bisa kita dijejerin sama pot-pot kelas”

“Bu Tika tuh baik sih, cantik pula. Tapi, kalo ngomongin pelajaran, gue suka unable to connect tuh sama doi. Ya nggak?”

“Setuju bang...”jawaban Intan menggantung di langit-langit teras kelas yang ramai tatkala melihat sosok Faiz berjalan keluar dari kelasnya, XII IPA 2. Gadis atun (agak tambun) itu terkesima.

Ingrid mencari-cari penyebab berseri-serinya wajah Intan.

“Ooo...Faiz...” Ingrid menemukan jawabannya.

Keterkesimaan Intan berlangsung beberapa belas detik saja sampai Faiz melewati Intan dengan cool-nya. Ingrid juga terdiam, sebenarnya dalam hati dag dig dug juga melihat a guy next class itu.

“Oooww...”gumam Intan dan Ingrid berbarengan dengan senyum tiada henti.

“Apaan sih lo? Ikut-ikutan suka sama dia?” tanya Intan sambil menyikut pelan perut Ingrid.

“Eh, emang kenapa?”

“Katttrrrooo’...” Intan mulai dengan umpatan khasnya.

“Eh, sok playgirl banget sih lo! Udah ngegebet Wawan, kakak kelas kita dulu. Sunu, cowok bluetooth itu. Dhani, anak kelas IPS. Rezha, brondong kelas X. Sekarang Faiz juga! Ah...gila lo! Nggak kapok ya, mereka kan ngelirik lo sebelah mata aja nggak!” sodok Ingrid membuka kartu truf Intan.

“Yah...mumpung masih muda dan masih ReTaK...Remaja Tanpa Kekasih...” kelakar Intan.

“Ah, kalo gue mah, males lagi mikirin gebetan, brondong segala macam. Nggak ada faedahnya juga! Bikin penyakit aja!”

“Halah...dulu ‘kan lo yang paling minat sama Faiz”

“Itu ‘kan dulu, sekarang sih nggak lah!”

“Tapi, kemarin gue sempat ngasih tahu Dee kalo lo naksir sama Faiz. Yah... kali aja Dee ngasih tahu Samsul, sohibnya Faiz. Terus, Samsul ngasih tahu Faiz deh!”

“Ah...lo mah suka ember! Awas lo!”

***

“Rid, Rid, anak itu pingin kenal lho”

Di teras kelas, tiba-tiba Samsul menegur Ingrid yang baru keluar dari kelas. Ingrid menghentikan langkahnya, sejenak melihat ke arah Samsul, lalu bergeser ke arah Dee yang duduk tepat di samping cowok ikal itu. Mereka berdua tersenyum-senyum pada Ingrid.

“Siapa?” tanya Igrid.

“Itu!” Samsul menunjuk seseorang dengan dagunya.

Tampak seorang cowok tengah duduk si pembatas dinding kelas sembari asyik ber-was wes wos menyanyikan lagu barat yang tak dikenal Ingrid. Sadarlah Ingrid bahwa seseorang yang dimaksud adalah Faiz.

“Kita udah tahu lagi, Rid...” ucap Dee. “Entar kita urus deh...”

“Masya Allah, Faiz? Aduh... Kalian tuh dapat gosip dari Intan ya? Bukan aku yang nitip salam ke dia, tapi Intannya sendiri...Suer!”

“Masa’ sih?” tanya Samsul.

“Ih...Nggak percaya banget sih!” Ingrid berlalu meninggalkan Samsul dan Dee.

“Faiz! Dapat salam dari yang pake tas ungu!”

Belum sampai tujuh langkah, Ingrid tersentak mendengar sorakan Dee. Ia pun berbalik. Tatkala ia melihat Intan di ambang pintu, segera ditariknya gadis berambut sebahu itu

“Bukan! Bukan aku! Tapi dia!” Ingrid menceracaui Faiz dari jauh.

“Apaan sih lo tarik-tarik gue!?!” Intan protes.

Dari kejauhan, Faiz melongo. Suara cewek-cewek itu lebih nyaring dibanding musik metal yang sedang ia dengarkan.

“Ini dia nih, peri gosipnya,”tuding Ingrid pada Intan.

“Eh Rid, siapa juga yang bermaksud nyalamin lo ke Faiz. ‘Kan yang pakai tas ungu nggak cuma lo. Tuh si Tyas, si Mira, si Indah, bahkan gue...” ujar Dee.

Ingrid terdiam. Intan pun melakukan reaksi yang setara dengan Ingrid. Faiz yang ternyata sejak tadi menyaksikan adegan itu dengan seksama hanya tersenyum-senyum saja. Ingrid tiba-tiba malu. So...Ia pun berlari meninggalkan teras kelas, menuruni tangga kelas, lalu cepat-cepat masuk...WC!

“Yah...kabur...”gumam Dee

“Yah...katro’! batin Intan.

***

“Akhirnya, genk Abiogenesis dan genk Biogenesis pun berdamai setelah mereka mendapat hidayah melalui Al-Quran yang menyebutkan bahwa Allah-lah yang telah menciptakan seluruh kehidupan di muka bumi. Tamat.” Intan mengakhiri pembacaan cerpen biologi tentang Evolusi.

Tepuk tangan pun membahana di ruang kelas itu.

“Itu salah satu contoh cerpen yang sudah dibuat oleh kakak kelas kalian terdahulu tentang evolusi. Jadi, kalian bisa membuat lagu atau cerpen seperti tadi sebagai tugas semester dua nanti,” Bu Cici menyampaikan pesannya.

“Hiks...hiks...” Intan yang masih berdiri di samping bu Cici tiba-tiba terisak.

“Kenapa, Intan?” tanya Bu Cici terheran-heran.

“Hiks...nggak apa-apa, Bu...Karena cerpen tadi aja kok...”

“Emangnya sedih ya?”

“Nggak, Bu. Ceritanya lucu kok... Sangat logis! Saking logisnya, saya terharu...”

“Oh, emm... ya sudah, silahkan kembali ke tempat kamu”

Saat Intan melewati meja Ingrid, Ingrid mencegatnya.

“Sstt! Kenapa lo nangis?” tanya Ingrid

Intan pun duduk di bangku kosong di sebelah Ingrid. Kebetulan hari ini si empunya sedang tidak masuk.

“Tahu nggak? Cerpen yang tadi gue baca itu cerpennya siapa?”

“Nggak. Siapa?”

“Eldie...”

WHAT?!!” Ingrid terpekik, lantas menutup mulutnya.

“Ingrid, ada apa?” tegur Bu Cici. Semua mata yang ada di kelas tertuju pada Ingrid.

“Ada...ini, Bu. Ada...Ada what?”

Bu Cici mengerutkan kening,”Ya, ada apa?”

“Ada...Ada wati yang pingin pipis, Bu. Yuk, Wat! Permisi, Bu!” Ingrid segera menggamit tangan Wati yang duduk di samping kanannya, lalu keluar kelas.

“Wah... jodoh banget dong kalo gitu!” Sahut Ingrid pada Intan.

Beberapa siswa mondar-mandir di teras kelas, menuju tempat istirahat favorit mereka, warung Cak Leh. Intan hanya diam. Teringat kembali beberapa bulan yang lalu saat ia menyatakan break-up pada Eldie. Saat itu, ia masih kelas XI dan Eldie kelas XII. Tak ada masalah selingkuh atau jenuh, keputusan itu murni kehendak Intan. Lebih tepatnya, setelah ia diajak Ingrid untuk menghadiri keputrian di sekolah. Kebetulan, tema taujihnya adalah tentang pacaran dalam Islam. Ternyata, Islam membatasi hubungan antara lawan jenis dalam pergaulan. Bayangkan, nyolek lawan jenis aja nggak boleh, apalagi pacaran!

Awalnya Intan ragu. Memang usia pacaran mereka cukup lama juga, hampir 9 bulan. Kalo diibaratkan bumil (ibu hamil), tinggal menghitung hari untuk netes tuh, eh melahirkan. Dan selama pacaran, mereka memang belum sampai...you know lah! Ya, paling jalan bareng, ngobrol, atawa sms-an. Tapi, siapa yang tahu nantinya? Apalagi Intan dan Eldie makin dewasa, apa mereka bisa tahan dengan gaya pacaran ala bocah bau kencur seperti itu?

Akhirnya, sehari setelah mendapat “hidayah” dari keputrian itu, Intan pun memutuskan Eldie. Tepat pada saat Eldie menghadiri prom nite sekolah. Awalnya Eldie kaget dan kesal, apalagi Intan tak mau mengatakan alasannya secara pasti. Ia tetap ngotot.

“Oke. Kalau gitu, untuk terakhir kalinya, izinkan aku mencowel pipimu dong...” ujar Eldie putus asa.

“Ih...nggak boleh! Kayak judul buku aja!” Ketus Intan dan pergi menginggalkan Eldie yang malam itu terlanjur tampak keren dengan jas hitamnya.

Sementara di panggung, sebuah band sekolah asyik mendendangkan JAP-nya Sheila On 7. Sial! Nggak cocok banget sih lagunya! Rutuk Eldie dalam hatinya yang teriris titpis-tipis.

Lantas, bagaimana dengan cerpen evolusi Eldie? Ternyata ada kisah manis di balik the making of it. Saat itu Eldie meminta komentar Intan tentang cerpen itu.

“Bagus kok, Kak. Lucu, tapi...jujur nih...biar aku aja ya yang tulis ulang cerpen ini? Komputer kakak lagi hang ‘kan?” ucap Intan.

“Oh... maksud kamu tulisan tanganku ya? Ya udah, boleh deh, asal nggak ngerepotin kamu”

Akhirnya Intan menulis ulang cerpen buatan Eldie dengan rapi. Esok harinya cerpen itu pun dikumpulkan. Ternyata masih ada satu-satunya kenangan hubungan Intan dan Eldie yang mungkin akan menjadi contoh untuk generasi selanjutnya yaitu cerpen karya Eldie yang ditulis dengan tulisan tangan Intan. Pantas saja Intan merasa terharu. Tapi, toh semua sudah berlalu. Sebab ada berkahnya juga ia putus dari Eldie. Ia yang dulunya rada-rada nggak nyambung dengan pelajaran, sekarang justru lebih berprestasi, termasuk MaFia, Matematika, Fisika, dan...Kimia of course!

***

Ttrrt...ttrrt...Handphone Ingrid bergetar di saku rok panjangnya, membuat Ingrid menghentikan bacaannya. Ia buka inbox. Siapa sih? Tahu aja jam pelajaran lagi kosong. Dari Intan? Ingrid mengedarkan pandang ke seluruh isi kelas. Teman-temannya berkurang, sebagian berada di luar kelas. Tiba-tiba tampak di teras kelas, Intan melambai padanya. Ya ampun, jadi anak itu cuma di luar tho? Ingrid geleng-geleng kepala.

From : Intan HP

Eh, gw dpt kabar dr Lila, t’xta si Faiz lg pdkt sm Yantri. Kmrn, pas jam Bio. Si F ngobrol trus sm si Y. Pas Lila tax, Y ato F gtu, ngejwb,’lg pdkt’

Intan melengos. Segera ia balas sms itu.

To : Intan HP

Oh...

From: Intan HP

Eh, kesambet apaan lo? Ko’ cm ‘oh...’?

To: Intan HP

Y udh, gw ucapin congrats dh bwt mrka. Mga langgeng ‘n cpt dpt mo2ngan. Jgn lpa oleh2 honeymoonx...

To : Ingrid_jilbab

GILE LO!!! EH,EH, GILE LO!

Hening. Tak ada lagi sms yang masuk ke HP Ingrid. Ia pun kembali menekuri buku kimianya.

“Kok tanggapannya cuma gitu doang?” tanya Intan yang tiba-tiba muncul.

“Emang kenapa?” Ingrid bertanya tanpa menoleh satu derajat pun dari bukunya.

Hot news ‘kan?”

Hot? Bikin HP lo kebakar ya? Ada-ada aja lo, ngegosip lewat sms. Nggak baik tauk!”

“Daripada ngegosip pake mulut, ‘kan terang-terangan tuh, lebih buruk lagi ‘kan? Mumpung ada free sms nih...”Intan membela diri.

Ingrid hanya geleng-geleng kepala. Otaknya masih rada nggak connect dengan konsep potensial elektrode standart yang panjang lebar dijelaskan di buku itu.

“Tan, lo les kimia ‘kan?” tanya Ingrid.

“Iya, emang kenapa?”

“Udah dapat kisi-kisinya belum?”

“Belum, mungkin besok. Lo pasti mau minta ‘kan?”

Ingrid mengangguk,“Boleh ya, Tan... Gue nggak mau remidial lagi...ya? ya?”

“Iya, entar gue kasih, tapi jangan bilang ke anak-anak les yang lain...”

“Brebes!” seru Ingrid sambil mengacungkan jempolnya.

***

Tit, tiit...Suara klakson motor itu menyentak Intan. Ia menyembulkan kepala di jendela kamarnya.

“Hai,Tan...” sapa Ingrid sembari melepas helmnya.

“Kemana aja lo? Ditungguin, kirain nggak jadi”

Sorry, overslept...Mana soalnya?”

“Belum gue fotokopi...”

“Ya udah, temenin gue ke fotokopi-an yuk. Tapi, lagi mati lampu ‘kan?”

“Gampang...di sono ada fotokopi-an yang pakai genset kok. Eh, pakai motor lo nih? Ikhlas?”

“Iya ah, Insya Allah...Ayok dah!”

Akhirnya Ingrid dan Intan pun pergi ke tempat fotokopi-an. Setelah itu, mereka kembali ke rumah Intan.

“Nah...sekarang gue mau lihat kuncinya nih...Mana?”tagih Ingrid.

“Nih...”Intan menyerahkan bukunya dan dengan cepat Ingrid menyalinnya.

“Assalmu’alaikum...Bapak ada, Tan?” seseorang atau mungkin beberapa orang, terdengar menyambangi rumah Intan.

“Sebentar yah!” Intan segera berlari ke dalam rumah.

“Weis...ada cewek nih. Hai, kenalin, aku Agi. Kuliah di Unikarta lho...” ucap salah satu dari mereka genit ketika melihat Ingrid di teras sedang mengerjakan soal.

Ingrid diam saja tak bergeming. Ia tetap asyik mengerjakan soal.

“Namanya siapa, dek?” tanya yang lain.

“Oh...aku tahu, namanya pasti Imah, ya ‘kan? Kuliah dimana?”

“Di UGM, fakultas teknik kimia,” jawab Ingrid ketus. Bohong banget!

“Eh, hei, dia marah tuh...” ucap yang tadi memperkenalkan diri.

Ingrid tetap mengerjakan soal, tak sekalipun ia menghadapkan wajahnya pada dua cowok aneh entah dari planet mana itu.

“Boleh tahu nomor HP-nya nggak?” tanya yang satu.

“Lo berdua punya waktu sampai hitungan ketiga gue habis, atau benda haus darah ini bakal nancep di jidat lo masing-masing!” tiba-tiba Ingrid mengacungkan sebilah pisau ke hadapan cowok-cowok itu.

“Cewek sinting...!!!”

Melihat pisau itu, keduanya terbirit-birit meninggalkan rumah Intan. Tak lama, Intan keluar dan terheran-heran melihat tamunya tadi sudah menghilang.

“Lho? Si Benjos sama Bonsi tadi kemana? Padahal ‘kan mereka mau nagihin sumbangan rutin mesjid kompleks”

“Nggak tahu tuh, Tan. Tiba-tiba aja mereka pamit tadi. Eh, Tan, ngomong-ngomong, ini pisau mainan punya siapa sih? Gue nemu tadi di kolong meja”

“Oh...itu pisau mainan anak tetangga gue... Mungkin ketinggalan kali ya? Gue pernah sport jantung jantung gara-gara tuh pisau. Habis mirip pisau asli sih...”

Ingrid hanya tersenyum. However, she was saved from those mad boys by the fake knife.

***

“Kamu yang namanya ingrid?”

Pagi-pagi sekali, ketika Ingrid membuka pintu kelasnya, cowok itu menyapanya untuk pertama kali. Ditambah lagi, cowok yang dikiranya pemalu itu, tersenyum padanya. Ingrid berusaha menutupi kekikukannya. Ia menundukkan pandangannya. Gile! Nih cowok kalo diliat dari dekat, mirip juga sama Jude Law, batinnya.

“Iya, ada apa ya?”

“Kata Samsul, kamu salam ke aku ya?” tanya cowok itu.

“Aku salam ke kamu? Masa’ sih? Ngeliat juga jarang,” jawab Ingrid, jaim!

“Yah, benar apa nggak, yang jelas, aku juga sebenarnya pingin kenalan sama kamu. Aku Faiz,” ujar cowok itu sambil mengulurkan tangan kanannya.

“Ingrid”

Gadis itu menyebutkan namanya sembari menangkupkan telapak tangannya di depan dada. Faiz kecele, ditariknya kembali tangannya.

“Maaf ya, aku piket hari ini,” ujar Ingrid

“Oh ya, sampai ketemu istirahat nanti ya. Bye!” Faiz pun berlalu.

Ingrid tersenyum. Ha? Istirahat? Waduh, dia serius nih mau kenalan? Ingrid menuju tempat duduknya. Hatinya kebat-kebit. Sumpah! Ia tak menyangka Faiz menanggapi apa yang disampaikan Samsul. Entahlah, ia merasa berbunga-bunga tapi juga takut. Sesungguhnya, ia hanya main-main, hanya memuji cowok berkulit putih itu, bukan berarti jatuh hati ‘kan?

“Gue lihat kok,” tiba-tiba Intan datang mencairkan keheningan.

“Ah, jangan salah paham, Tan... Lo ‘kan yang sebenarnya suka sama dia? Gue tuh nggak bener-bener suka sama dia. Gue cuma setuju aja sama lo bahwa dia itu keren...Udahlah...dia cuma salah paham sama omongan Samsul”

“Tapi, lo nggak nolak juga ‘kan?”

“Intan, kalo dibandingin lo, perasaan gue ke dia ya biasa aja. Once again, gue cuma main-main. Sumpah! Lagian, gue males cari-cari gebetan!”

Intan terdiam.

“Tan, gimana pun jadinya, gue tetap berada di pihak lo, soalnya lo ‘kan udah bantuin gue ngertiin kimia. Gue rela deh, seandainya lo mau, kimia ditukar sama dia. Rela gue!”

“Wah, gila lo, jaman begini pakai barteran pelajaran sama cowok begitu. Eh, jadi, kalau gue nggak bantuin lo dapatin kisi-kisi kimia, lo bakal nerima dia, gitu?”

“Ye! Nerima dia? Nggaklah! Emang dia nembak gue?”

“Siapa tahu, one day?”

Hari pun berganti. Dan masa kritis (ulangan kimia, maksudnya!) pun telah lewat. Kini hasil ulangan itu dibagikan.

“Yes! Gue dapat 9! Lumayan...Thanks banget ya, Tan. Lo emang sohib gue yang paling the best deh!” ucap Ingrid sambil memeluk tubuh besar Intan.

“Ih...nggak usah peluk-peluk gitu deh! Dan ingat, jangan sampai ketahuan anak-anak les yang lain!”

“Siip... Lain kali begini lagi ya?”

“Hm, bayarannya apa?” tanya Intan.

“Bayarannya? Gue ‘kan udah bilang tempo hari. Perlu bukti? Ikut gue yuk!”

Ingrid menggandeng Intan menuju kelas XII IPA 2 untuk menemui Faiz.

“Faiz, kemarin ‘kan kamu nembak aku, tapi aku belum bilang jawabannya ‘kan? Nah, sekarang aku mau jawab nih...Mau dengerin nggak?” ujar Ingrid.

Faiz mengangguk. Binar di matanya penuh harap. Inilah jawaban atas usaha PDKT nya.

“Sorry banget, aku nggak bisa nerima kamu, karena sebenarnya yang suka sama kamu itu bukan aku, tapi sahabatku ini, Intan. Dan kamu terlalu Ge-eR kalau mengira aku yang nitip-nitip salam ke kamu selama ini. Sebenarnya aku hanya main-main aja. Intan ini baik lho, pintar kimia lagi! Buktinya, ulangan kimiaku sukses setelah dia ngajarin aku. Nah, sebagai balas jasaku, aku mau nyerahin kamu ke dia aja. Gimana?”

Faiz menlongo. Jadi, selama ini usahanya sia-sia? Kenapa justru Intan yang bertubuh bongsor ini yang menyukainya?

“Waduh, Rid, kayaknya...aku juga jadi ilfil nih sama cowok ini. Setelah aku tahu dari Lila kalau nilai-nilai pelajarannya...ancur semua...So...”

Ingrid dan Intan tertawa. Mereka pun kembali ke kelas mereka, meninggalkan Faiz yang masih melongo karena dicampakkan oleh dua cewek sekaligus. Hoo...?

Tenggarong, 13 Desember 2007

For Shavee, Me, and A guy next class