Jumat, 11 September 2009

Ada banyak ucap…

Ada banyak kata…

Yang tak pernah tersampaikan…

Meski kita sering bersua…

Ada ketidakmengertian…

Antara kita…

Entah bermula darimana…

Dan entah berakhir bagaimana…

Ada banyak tanya…

Adabanyak prasangka…

Yang kusembunyikan

Atas cara pandangmu terhadapku…

Jika mungkin, kita mampu ungkapkan

Takkan aneh cara-cara kita

Maumu akan kumengerti

Mauku akan kau pahami

Ada kekuatan besar di antara kita…

Yang memisahkan…

Menjadikan rasa saling mengerti menjadi kaku…

Menjadikan cinta menjadi ragu…

Kekuatan yang sesungguhnya amat mulia…

Dan harus kita syukuri adanya…

Yang membuat kita menanti

Hingga waktunya tiba…

Samarinda, 190609

To : yang pernah membagi cerita-ceritanya dalam kesepian…


I'M NOT ACCESS, I'M LDMAH

ALLAHU AKBAR !!!



Disinilah Aku, Menyusuri Langkah-Mu

Senin, 10 Agustus 2009


Lembayung yang pisahkan langit dan bumi...

Kupandang lekat dalam harap
Tengah kucoba menyusuri lorong jejak-Mu...
Yang begitu rumit, namun berujung surga
Pernah pula kucoba berpindah ke lorong lain...
Yang indah, namun berujung petaka

Karena disinilah aku
Hamba-Mu yang lemah dan hina
Kau lebih tahu hatiku terbuat dari apa
Cuma setitik Kau simpankan pelita-Mu di hatiku
Namun, itulah pelita termahal yang kumiliki
Dan tiada akan kuganti ia dengan yang lain

Di tiap akhir sujud, harusnya kurindui diri-Mu
Menyalakan kembali ghirah yang pernah hilang
Dan tanpa satu minta pun
Kau telah memberi yang terbaik
Bagai tiada habis rasa cinta itu
Maka, ijinkan aku selalu di jalan-Mu...

Ayahku (Juga) Idolaku



Suatu hari Rasulullah SAW. ditanya oleh seorang sahabat…

“Ya Rasulullah, siapa di dunia ini yang harus kita hormati terlebih dahulu?”
“Ibumu…” jawab Rasulullah.
“Siapa lagi, ya Rasulullah?” tanya sang sahabat lagi.
“Ibumu…”
“Siapa lagi, Ya Rasulullah?”
“Ibumu…”
“Lalu, siapa lagi?”
“Ayahmu…”
Subhanallah…Dari pernyataan Rasulullah ini, sudah pasti kita wajib menghormati kedua orang tua kita, terutama adalah ibu. Karena beliaulah yang mengandung kita dalam jangka waktu lama, melahirkan kita dalam keadaan antara hidup dan mati, merawat kita dengan sabar, dan masih banyak lagi jasa-jasa ibu yang takkan mungkin terhitung jumlahnya. Jika pun kita harus membayar semua itu, pastilah takkan mampu. Maka, sangat wajar, jika seseorang, termasuk juga kita, akan dengan bangga memjawab “IBU” ketika ditanya siapa idola kita.
Lantas, bagaimana dengan ayah?
Tentu saja di tulisan ini, saya tak bermaksud meminggirkan kasih sayang seorang ibu, hanya menyiasati betapa peran ibu itu tiadalah sempurna tanpa adanya sosok ayah. Mereka berdua penyemangat dan pendorong utama kita agar menjadi manusia yang berguna. Tanpa bimbingan keduanya, entah akan jadi apa kita.
Suatu hari, seorang teman bercerita kepada saya mengenai hari ulang tahunnya yang ia lewati dalam kesepian. Hampir tak ada yang mengucapkan selamat dan membahagiakannya kecuali satu SMS berkesan yang dikirimkan ayahnya, bahkan meruntuhkan jiwa kelelakiannya hingga jatuh juga airmatanya. Begini isinya :
SELAMAT ULANG TAHUN KE-19. Ya Allah…Ya Rob…, Engkau sisakan puteraku satu dari tiga bersaudara, Engkau panggil yang pertama dan ketiga sehingga tinggal yang di tengah yang telah Engkau tiupkan Roh-Mu dan Engkau keluarkan ke dunia pada tanggal 14-05-’90 dengan nama sekarang Rahmat Sholeh, sebuah nama yang Kau amanahkan lewat mimpi sebelum dia dilahirkan. Selamat dan Sukses buat puteraku satu-satunya dan selalu tercapai apapun yang diimpikan dengan Ridho Allah SWT. Selamat.
Mengagumkan. Terus terang, saya pun terharu dengan SMS sang ayah, mungkin juga sedikit iri sebab selama ini ayah saya pun jarang mengucapkan kata-kata yang menggugah seperti itu untuk puterinya ini…(Hiks, hiks…tapi saya yakin ayah saya menyayangi saya kok…). Benar kata teman saya itu, ternyata SMS itu juga menjatuhkan air mata saya.
Saya juga pernah merasakan, meski memang ayah saya termasuk orang yang cuek tapi saya sempat menangkap binar bahagia di matanya ketika suatu hari saya pulang ke rumah, setelah selama beberapa minggu saya tak pulang karena urusan kuliah di luar kota. Bahagia itu memang tak langsung terucap dari bibirnya, tapi sekali lagi, saya bisa menangkapnya dari kebeningan mata dan sederhananya senyuman ayah saya. Tak hanya ibu yang selalu berdoa untuk kita di tiap sujudnya, saya yakin doa seorang ayah juga sama agungnya untuk kita.
Saya salut dengan niat salah seorang teman saya yang melencengkan haluan pendidikannya dari basis IPA ke ekonomi. Ketika ditanya alasannya, ia jawab karena ia ingin seperti almarhum ayahnya yang seorang sarjana ekonomi. Terlebih, ia anak pertama, ketika ayahnya pergi, tentulah kepala keluarga beralih padanya. Salut juga dengan ayah teman kontrakan saya yang berjuang mencari nafkah demi keberlangsungan pendidikan anaknya di tempat yang jauh. Meski hanya seorang tukang service alat elektronik, beliau tak pernah lalai menafkahi anaknya yang kuliah di Samarinda juga istrinya yang kini tinggal di Jawa. Ketika teman saya terdesak harus membayarkan uang kontrakan, beliau berusaha agar uang tersebut telah cukup untuk membayar kontrakan.
Di situlah saya mulai merasakan, bahwa peran seorang ayah, sama pentingnya dengan peran ibu. Ibu mengasuh, ayah memberi nafkah. Itu memang fitrah dan kewajiban orang tua untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Surga memang tak terletak di kaki ayah, tapi merupakan satu kewajiban kita untuk tak melupakan semua yang telah diberikan ayah. Sejelek dan sehina apapun ia, hormatilah juga ayahmu. Ia adalah imam di keluarga kita. Ia adalah wali pertama bagi pernikahan puterinya, ia juga pelengkap nama dan nasabmu.

Be A Strong Ukhti


Saudari-saudariku yang diberkahi oleh Allah dan selalu dalam naungan cinta-Nya…
Kubuat tulisan ini dalam asuhan istiqhamah dan kepedulianku akan keindahan seorang Annisa di muka bumi ini…
Aku bangga banget sama antunna yang istiqhamah menjaga diri supaya nggak terjebak di arus pergaulan sekarang. Istiqhamah untuk tetap menggunakan hijab, memakai pakaian taqwa dengan menjaga kehormatan diri, nggak pacaran sampai yang halal tiba, tapi tetap nggak menutup diri dan nggak kaku sama semua teman. Tapi, aku tahu, kecantikan dan kelembutan antunna nggak jarang membuat para lelaki ingin mengulik kehidupanmu, karenanya aku punya beberapa tips yang mungkin bisa membantu antunna mengatasi masalah yang kerap melibatkan perasaan para lelaki ini…
1. Kalo berpapasan dengan seorang ikhwan, tundukkan pandangan. Ini jelas, antunna pasti tahu banget ayatnya.
2. Sederhanalah dalam bersikap terhadap semua orang, terutama terhadap para ikhwan. Jangan berlebihan kalau bicara atau bercanda dan jangan terlalu akrab. Pokoknya biasa aja deh!
3. Biasakan bicara tegas, bukan berarti kasar loh ya... Jangan sok merdu-merduin suara, apalagi di depan para ikhwan. Karena dikhawatirkan, hal ini memancing getar-getar kekaguman di hati para ikhwan. Tahu sendiri ‘kan ujung-ujungnya bagaimana…
4. Kalau disapa teman cowok, jawab pendek dan datar saja. Kalau yang menyapa Cuma usil mau godain kita, ya pura-pura aja nggak dengar, tapi tetap menjawab dan doakan dia dalam hati. Apalagi kalau ada yang mengucapkan salam, jawab salamnya tapi tetap ghadhul bashar. Jadi akhwat tuh nggak boleh sombong juga…
5. Kalau antunna punya banyak teman akhwat yang masih suka pacaran, di jam-jam mereka ngobrolin masalah pacar, jangan ikut nimbrung deh kalau bisa, ntar jadi kepingin lagi…bikin penyakit aja!
6. Jaga jarak sama ikhwan yang dicurigai menaruh hati ke antunna. Tapi, bukan berarti memusuhinya loh…
7. Kalau ada ikhwan yang sms, silahkan dibalas kalau emang isinya urgent dan nggak menjurus ke hal-hal yang private. Tapi, kalau emang sudah menjurus ke situ, sms-nya di stop aja atau sekalian nggak dibalas aja!
8. Kalau ada ikhwan yang ngajakin jalan bareng, tolak secara halus, katakan kalau antunna nggak bisa. Sebisa mungkin jelaskan ke dia sebab yang sejujurnya. Syukur-syukur dia bisa ngerti…
Saudari-saudariku yang tengah merengkuh ridho-Nya…
Ketika batinmu penat memikirkan dunia yang kian tua, berdoalah…Ketika wajahmu takut untuk menatap yang tak layak untukmu, berdoalah…ketika tanganmu letih mengacungkan kata tidak untuk kema’siatan, berdoalah…Ketika kakimu lelah berjalan di titian menuju cita, berdoalah…Ketika bibirmu lantang mengucap kata tidak untuk mentuhankan yang bukan Ia, berdoalah… Ketika hatimu bimbang tatkala seseorang berniat menyentuhnya, berdoalah…
Tak banyak yang bisa kuberikan. Semoga tips-tips di atas dapat membantumu, Ukh! Wallahu’alam bisshawab… Keep fighting and always istiqhamah!

Fool Again

Rabu, 05 Agustus 2009

Baby, I know the story
I've seen the picture
It's written all over your face
Tell me, what's the secret
That you've been hiding
Who's gonna take my place

I should've seen it coming
I should have read the signs
Anyway...I guess it's over

Can't believe that I'm the fool again
I thought this love would never end
How was I to know
You never told me
Can't believe that I'm the fool again
And I who thought you were my friend
How was I to know
You never told me

Baby, you should've called me
When you were lonely
When you needed me to be there

Sadly, you never gave me two many chances
To show how much I care

I should've seen it coming
I should have read the signs
Anyway...I guess it's over

Can't believe that I'm the fool again
I thought this love would never end
How was I to know
You never told me
Can't believe that I'm the fool again
And I who thought you were my friend
How was I to know
You never told me

About the pain and the tears
Oh, Oh, Oh
If I could, I would
Turn back the time

I should've seen it coming
I should have read the signs
Anyway...I guess it's over

Can't believe that I'm the fool again
I thought this love would never end
How was I to know
You never told me
Can't believe that I'm the fool again
And I who thought you were my friend
How was I to know
You never told me

Can't believe that I'm the fool again
I thought this love would never end
How was I to know
You never told me
Can't believe that I'm the fool again
And I who thought you were my friend
How was I to know
You never told me

fade out


(Lagi suka lagu-lagu westlife, yang ini juga okeh...)

Reuni Yuuukkk...: Olahraga Ala Kita, Sob!

Kamis, 19 Maret 2009

SEPAK BOLA

Paling seru tuh kalo ngeliat cewek-cewek maen sepak bola, ya nggak? Ada-ada aja yang aneh. Mulai dari cara mereka nendang bola, ngejar bola, “menyambut” bola, begitu juga kalo disuruh jagain gawang seperti teman saya, Lely, yang sempat disuruh jagain gawang sewaktu suatu hari kami maen sepak bola. Bukannya siap siaga di depan gawang kalo-kalo ada bola mau ngebobol, eh doi malah asik jongkok di depan gawang sambil ngutik-ngutik hape. Kali aja doi yakin banget gawangnya nggak bakal dibobol, soalnya semua pemainnya pada asik main di “arena” ke gawang seberang.

Nggak kalah seru sama yang dilakukan Ani karena “kepiawaiannya” menggiring bola. Waktu itu biasa...main bebas...anak-anak cewek lagi yang disuruh maen bola. Tapi, tiba-tiba anak-anak cowok juga nggak mau kalah turun ke lapangan. Lagi asik-asiknya ngoper bola, si Ani langsung dikerubutin timnya dan tim lawan, termasuk beberapa anak cowok. Tuh bola udah siap di depan doi buat ditendang. Dengan mantap doi tendang deh tuh bola. Tapi, nggak Cuma bolanya yang melayang, lumpur and pasir lapangan juga ikut melayang. Naasnya, walaupun bola nggak ngarah ke jalan yang benar, tapi lumpur and pasir yang “tersepak” si Ani mendarat ke mulutnya si Nurpri. Kontan deh si Nurpri kelabakan ngusirin lumpur dan pasir yang hampir termakan. Yaaa...

LOMPAT GALAH

Buat anak-anak cewek, lompat galah tuh termasuk olahraga yang susah ya... Paling-paling buat saya sih Cuma bisa sampe tiang nomer 7. Tapi, buat teman saya Ayu Diah ato yang biasa disapa Audi atawa Yudi, bisa ato nggak bisa ngelewatin tuh galah sih gak masalah, yang penting tuh galah “manut” sama perintahnya...Maksudnya???

Begini lho...Waktu itu si Yudi ini lagi mencoba ngelewatin tiang nomer 5 (kalo gak salah sih...). Tahu kan kalo goyang dikit aja, bisa-bisa si galah jatuh dan kita dianggap failed...??? Nah, begitulah, setelah tuh galah doi lewatin, doi terduduk di matras sambil ngeliatin tuh galah goyang apa kagak. Emang goyang sih...Parah! hampir jatuh kayaknya! Oh Noooo...!!!Tiba-tiba si Yudi malah berseru, “Sssttt...Diam!!!” sambil nyilangin telunjuknya di bibir. Alhasil...si galah beneran diam...gak jadi jatuh...Wow...It’s magiiiiccc...

CYCLING

Kalo yang ini sih pengalaman pribadi saya. Saya tuh ‘kan suka cycling kalo hari minggu. Jadi di suatu minggu pagi yang cerah, saya iseng-iseng cycling ke tepian di bawah Jembatan Mahakam. Biasanya sih ada si Puput yang biasa nemenin, tapi waktu itu doi lagi males kayaknya. Jadi saya sendirian deh ke sono...

Setibanya di tepian, saya standarin tuh sepeda trus saya duduk deh di pembatas pagar sambil liat sungai Mahakam. Waktu itu ada lumayan banyak orang lagi olahraga juga di sana. Tiba-tiba, dari arah kiri saya datang seorang cowok sotoy (belum ketahuan sih sotoynya) menyapa saya. Lumayan sih baru juga datang udah disapa cowok yang kalo saya bandingkan sih mirip presenter Mario Irwiensyah itu...Hahai...Ternyata tuh cowok mau minjem sepeda saya buat muter-muter kompleks taman tepian aja. Sebenarnya ya, saya tuh mau nolak, tapi pagi itu saya belum dapat wangsit buat ngibulin orang, lagian nggak seru sih masa’ baru datang udah pergi lagi cuma gara-gara ada stranger mau nebeng sepeda. Akhirnya, saya ijinin aja tuh cowok (Mungkin kalo kalian denger cerita itu, kalian bakal komentar “berani banget minjemin sepeda ke orang yang belum dikenal! Kalo dicolong gimana? Ato sepedanya diguna-gunain?!!!”).

Sebenarnya saya nggak goblok juga sih, yang pasti saya tetep ngawasin tuh cowok naikin sepeda saya kemana aja. Lagian tadi saya sempat liat dia tuh di situ nggak sendirian, ada beberapa temannya juga lagi ngumpul sambil olahraga, atau TP-TP ya? Ah, pokoknya mah kalo tuh orang macam-macam, saya siap nguber!!! Eh, akhirnya setelah beberapa lama doi muter-muter, akhirnya doi balik ke tempat saya duduk, buat ngembaliin sepeda...Sebelum semuanya berlanjut ke hal-hal yang saya nggak inginkan, saya udah siap-siap beranjak.

“Makasih ya sepedanya...” kata doi sambil senyum-senyum ke saya.

Saya sih Cuma ngangguk aja sambil senyum juga. Tapi tatapan tuh cowok (Ciiee...) kayak bilang “Hai gue siap kenalan ma loe, pedekate juga sekalian”. Hii...membayangkannya saya jadi keseleo, eh bukan deng, jadi ngeri. Buru-buru saya bangkit dar duduk dan menyambut sepeda saya. Eh, rupanya tuh cowok buru-buru nanya,“eh cewek, rumahnya dimana?”. Ih sotoy kan? Tapi saya buru-buru juga bilang,”di situ tuh...” sambil nunjuk kediamannya pak Rachmat Santoso (yang belum tahu, pak Rachmat Santoso tuh ketua DPR Kukar) yang emang nggak jauh dari taman tepian. Langsung deh saya naik ke sadel dan segera ambil seribu kayuhan. Kabuuurrr...

VOLI

Nah, yang ini nih terjadi pas kelas satu. Waktu itu kita-kita disuruh belajar maen bola voli, mulai dari servis sampe “menyambut bola” (ini bahasa saya lho...). Nah, sebelumnya juga kita udah latihan ngelempar-lempar bola, mantul-mantulin bola pake tangan itu lah! (maklum, saya paling nggak bisa olahraga ini...).

Si Nurpri lagi nih, kali ini dia jadi superstar kita, waktu dia “nyambut bola”, dia ngelambungin bolanya jauuuuh... banget. Sampe-sampe tuh bola nyungsep ke atap kantor guru. Anita yang jago aja kalah. Kita-kita yang nonton pada terkagum-kagum tuh ceritanya.

Pas penilaian, ternyata (kalo nggak salah nih...) si Nurpri justru dapat nilai B. Eh, doi malah menggerutu begini,”Kok Cuma dapat B ya, padahal bola dariku ‘kan paling tinggi lambungannya”...Yee...

Bagi-Bagi Materi Kewarganegaraan

Kamis, 12 Maret 2009

Hilangnya Identitas Nasional yang tidak pernah ada

Dua orang penguasa Indonesia yang paling kuat, Sukarno (1945-1966) dan Suharto (1966-1998) berupaya keras merumuskan identitas Indonesia dari segi kebudayaan. Keduanya secara sederhana memformula hal itu dalam Pancasila. Penguasa-penguasa Indonesia berikutnya, Habibie (1998-2000), Abdurrahman Wahid (2000-2001), Megawati (2001-kini) tidak sempat memformula identitas bangsa karena periiode kekuasaannya yang singkat, lagipula mereka didera oleh masalah krisis kekuasaan. Sebagai penguasa seumur jagung sungguh tak banyak yang mereka dapat lakukan.

Jika bangsa Irak sekarang dapat mengidentifikasi dirinya pada peradaban Babylonia, tidaklah demikian halnya dengan kita karena subjek identifikasi itu yang tidak pernah ada. Mr. Muhammad Yamin tergila-gila pada Majapahit, Sukarno menfavoritkan Sriwijaya dan Majapahit, Suharto terobsesi pada Mataram pasca Giyanti 1755. Namun sesungguhnya kerajaan-kerajaan yang mereka jadikan acuan itu, apalagi Mataram, tidak pernah mengendalikan Nusantara.

Sriwijaya tidak unggul mutlak di lautan, apalagi di pedalaman, Majapahit dengan maha patihnya bernama Gajah Mada yang konon gagah lagi pula perkasa itu walau dapat memenangkan peperangan yang pengecut di Bubat, tetapi tidak pernah mengendalikan Pajajaran.

Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara adalah kerajaan kecil yang bersifat lokal. Apekansi pelabuhan Kelapa oleh kekuasaan Islam Cirebon lebih bersifat politik dan ekonomi daripada kebudayaan (da’wah), karena tidak terdapat jejak islamisasi yang dilakukan Fatahilah, dan dua orang pelanjutnya, di Nusa Kelapa (Jakarta sekarang).
Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda lebih terkenal sekarang daripada masa ketika sumpah itu disumpahkan. Lagipula kedua sumpah itu tidak pernah diumumkan dalam Lembaran Negara dimana semua orang dianggap sudah mengetahui walau belum pernah membacanya.

Secara geografis tidak terlalu jelas wilayah yang mau disatukan Gajah Mada. Bahkan ketidakjelasan itu berlaku hingga kini karena konstitusi kita tidak mengandung batas-batas wilayah Indonesia. Khalayak ramai mengetahui wilayah Indonesia sejak duduk di bangku sekolah rendah karena di dinding setiap kelas tergantung peta Indonesia.

Di zaman Menpora Abdul Gafur siswa-siswa sekolah “disuruh” menangis tersedu sedan seraya membaca teks Sumpah Pemuda, tetapi di Kongres Pemuda II sumpah itu disusun dalam suasana biasa-biasa saja, dan tidaklah pula dapat dikatakan itu adalah saat kelahiran jabang bayi Indonesia. Dan berita tentang sumpah ini pun tidak menjangkau Nusantara, hanya beredar di kalangan elit politik tertentu saja. Meski Sekarmaji Merijan Kartosuwiryo merupakan peserta aktif dalam Kongres Pemuda II, dan banyak menyumbang pemikiran di kongres ini, toch Negara Islam Indonesia diproklamasikannya juga berdirinya pada tahun 1949 oleh yang bersangkutan.

Sampai disini konsep kebudayaan kita, meminjam istilah Bung Karno dalam konteks lain, gumanthung tanpo cumanthel. Untunglah ada Mpu Tantular yang berujar bhinneka tunggal ika, tetapi apakah sang empu menggunakan istilah itu dengan maksud yang sama dengan kita? Tidakkah semboyan itu lebih beraksen politik daripada budaya? Barangkali ucapan Datuk Hang Tuah Tak ‘kan Melayu hilang di bumi lebih sarat muatan kebudayaan daripada politik, karenanya tetap aktual.

Frederick de Houtman de Couda, adik Cornelis de Houtman, dalam kitab lexioografi Spraeckende word-boeck in de Malaysche en de Madagaskarsche Talen mengatakan bahwa bahasa Melayu telah digunakan secara luas di Oost Indie . Bahasa Melayu sebagai lingua franca telah dikenal penduduk Nusantara ratusan tahun yang lalu. Inilah titik temu penduduk Nusantara yang didasarkan oleh keperluan praktis berkomunikasi. Yang “mengikat” penduduk Nusantara sampai dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia adalah bahasa Melayu.

Penyatuan teritori Hindia Belanda sendiri baru tercapai setelah korte verklarieng van Hentz tahun 1904. Proses penyatuan teritori lewat kekerasan. Tentu saja Indonesia sebagai suatu entitas kebudayaan di luar jangkauan korte verklarieng van Hentz.

Mencari “puncak” Ki Hajar

Identitas Nasional sulit dikenali, apakah pada gedung-gedung di Jakarta, ataukah pada cara berpakaian kaum elit, atau pada lagu-lagu pop Indonesia. Mungkin pada koreografi Inul kita dapatkan asli pesisir, tapi itu Jawa, bukan pula Indonesia. Kebudayaan etnik di Indonesia mudah didefinisikan, tetapi tidak kebudayaan nasional. Musrkilah ini sudah disadari oleh generasi lampau. Karena itu muncul formula kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan”daerah” kata Ki Hajar Dewantoro.

Formula ini verbalistik belaka, tak dapat lagi diperjelas, apalagi dirinci. Tingallah formula ini sebagai mantra yang dituliskan di pelbagai makalah kebudayaan, dan dibaca-baca dalam setiap pidato kebudayaan. Tetapi apa gerangan benda itu hingga sekarang tak kunjung jelas. Lagi pula formula ini disusun sebagai bias konsep pemerintahan yang sentralistik, ketika kita dimabuk kepayang dengan konsepsi “negara kesatuan” vis & vis negara federal, segalanya bersifat vertikal, dan struktural. Kalau ada kebudayaan daerah mati harus ada “pucuk pimpinan” kebudayaan nasional.
Syahdan, budayawan pun terstratifikasi menjadi budayawan Nasional dan budayawan daerah. Budayawan daerah terpromosi sebagai budayawan Nasional bila secara phisik pindah ke Jakarta atau banyak menulis, atau diwawancara, oleh media Jakarta.
Bias pusat-daerah mestinya tak layak mengemuka lagi dalam era reformasi.
Jauh mendaki namun “puncak” Ki Hajar tak kunjung bersua. Karena tidaklah begitu mudah mengidentifikasi gunung kebudayaan “daerah”, mana yang puncak, mana yang tebing, dan mana pula kakinya bukan sesuatu yang sederhana untuk ditentukan, lagi pula apa keperluannya. Dan masihkah relevan penggunaan istilah “kebudayaan daerah”, sementera Indonesia terbagi habis dalam propinsi-propinsi, dan otonomi daerah semakin digiatkan.

Pancasila lumpuh dimangsa reformasi

Serangkaian peristiwa-peristiwa politik sejak Pemberontakan PKI di Madiun, Darul Islam, PRRI-Permesta, sampai G.30.S/PKI menguatkan posisi politik Pancasila sebagai idiologi “Nasional”. Celaka benar nasib juru pidato bila dia tidak berucap Pancasila sekali-dua, eloklah kalau ia dapat gandakan berkali-kali. Sebagai penggali Pancasila, Bung Karno mengisi idiologi itu dengan Manipol-Usdek. Tumbangnya Sukarno diiringi dengan runtuhnya ornamen politik (dan kebudayaan) Manipol-Usdek, tinggallah yang tersisa sampai sekarang sebuah nama gang di Kampung Duri, Jakarta-Barat, yaitu Gg. Usdek.

Alih kuasa Sukarno kepada Suharto lebih bersifat pergantian pemerintahan. Pancasila sendiri tidak kenapa-napa. Mujur belaka sebagai idiologi, ternyata Pancasila dapat diisi ulang. Suharto sangat giat mengisi Pancasila dengan P4. Ketua PSSI Berdosono mengutarakan kreativitasnya, ia menelorkan sepakbola Pancasila. Intelektual dan agamawan menarik-narik Pancasila kian kemari agar cocok dengan paham agama masing-masing. Budayawan dengan caranya sendiri berbuat hal serupa, bahkan penyanyi dangdut Rhoma Irama membuka penampilannya di atas panggung dengan berseru, “Hidup Pancasilawan” berkali-kali. Jikalau dapat mengeluh, mungkin Pancasila sudah ingin curhat bahwa dirinya teramat lebih dibegitukan.
Sebagai Ketua MARI (Majelis Rakyat Indonesia) yang memprakarsai perlawanan terorganiseer terhadap Suharto pada tahun 1996, saya ingat betul bahwa kaum reformist dalam gerakan menumbangkan Suharto sama sekali tidak menguti-utik Pancasila. Tetapi sangat aneh. begitu gerakan ini berhasil menumbangkan Suharto, beriringan dengan itu Pancasila pun lumpuh. Tidak ada lagi pembesar, agamawan, budayawan, yang omongkan Pancasila. Kini, bila juru pidato berdiri di podium seraya menyebut-nyebut Pancasila niscaya dipandang publik sebagai makhluk aneh yang datang dari alam lain.

Hal tersebut di atas menguatkan kesimpulan saya bahwa kita mengalami krisis identitas, tetapi ...........yang kita tidak pernah memilikinya. Ternyata selama 53 tahun Pancasila cuma disandarkan pada tembok kekuasaan politik, ketika kekuasaan ini rontok, Pancasila pun rebah. Sayang sekali Pancasila tidak mempunyai akar kebudayaan yang menusantara, meski pun kelima silanya termaktub dalam pembukaan konstitusi bahkan fraksi-fraksi MPR telah berazam untuk tidak mengubahnya.

Dengan begitu apakah berarti kita harus mengubah Pancasila, jawabnya adalah tidak perlu. Pancasila secara nature adalah konsesus politik agar dapat menyatukan secara phisik Indonesia. Pancasila tidak perlu difranchise untuk urusan lain seperti sepakbola, fashion show, pemahaman agama, identitas, lari pagi, arisan, dan fitnese.

Ular Berbisa Ato Kucing Garong

Minggu, 11 Januari 2009

Ini cerita tentang teman satu kontrakan sekaligus satu kelas saya. Sebut saja namanya Seruni (kayak berita kriminal yang nama korbannya disamarin ajah!). Si Seruni ini seringkali ngerasa ilfil sama seorang cowok di kelas bernama Leo (samaran juga yah!). Pasalnya Leo ini sering sms-in Seruni tentang hal-hal yang menurut Seruni nggak penting. Nanya soal PR lah, tugas lah, padahal PR atopun tugas itu udah amat sangat jelas diterangin ma dosen. Kadang juga nanya,”Udah ada dosen belum?”. Seruni Cuma ngerasa aneh kenapa harus dia yang jadi sasaran pertanyaan cowok itu, padahal ‘kan teman-teman cowoknya yang lain juga banyak. Apa dia nggak takut dikibulin Seruni, gitu ya? Udah gitu sering nebeng catatatn Seruni pula. Selalu nebengnya ke Seruni!!!

Awal ketemu nih cowok sih, Seruni justru goda-godain saya. Doi bilang, Leo tuh mirip seseorang yang pernah bikin saya “meleleh”, tapi zaman dahulu kala sih...Saya sih agak sependapat bahwa Leo tuh mirip “Pelangi” saya (OH MY GOD!!! Hati saya sering sedih kalo ingat obsesi saya itu...). Tapi, si Leo mah nggak lantas bikin saya jatuh hati ma dia. Dia tetep aja beda atuh! Apalagi setelah saya tahu bahwa dia...ah, ntar deh saya ceritain ke-ilfil-an terbesar saya ma Seruni tentang Leo. Pertamanya juga dia kenal saya duluan daripada Seruni.

Nggak beberapa lama, pas itu bulan puasa, status saya masih MABA (Mahasiswa Baru loh ya, bukan Mahasiswa Bahari), ucuk-ucuk, cowok ini sms saya malam-malam, nanyain tugas. Saya yang waktu itu belum begitu kenal anak-anak sekelas jelas bertanya siapa dia. Eh, dia sempat ngaku-ngaku sebagai salah satu seleb segala! Yang suka bawain acara remaja itu loh...yang jargonnya “Peace, Love, ‘n Gaul...” Ih males banget kan... Yah, begitulah seterusnya, dia ngalor-ngidul nanya-nanya tentang seorang teman SMA saya yang kuliah di luar negeri, nggak deh, di luar kota. Soalnya Leo ini pernah satu SD ma teman SMA saya itu...

Keesokkan harinya, saya cerita ke Seruni dan doi sempat nyindir-nyindir gitu...Hehehe...Tapi, beberapa hari kemudian, si Leo ini malah sms Seruni juga, nanyain masalah tugas (again!), nggak hanya itu, cowok ini juga menanyakan hal yang sama kepada saya...Semakin sering pula dia nebeng catatan. Saat itu sih kami masih berpositif thinking menyangka bahwa dia melakukan hal itu tanpa ada “embel-embel” PDKT kecuali masalah nanya tugas. Tapi, nggak bisa, nggak bisa dong doi terus-terusan begini. Jangan ngebiasain orang lain untuk tergantung terus sama kamu! Manja ntar!

Mungkin karena saya orangnya kelewat sangat cuek sedangkan Seruni tuh orangnya ramah, akhirnya dia mulai melupakan saya...(Yippiieee...Hoooreee...saya bukannya sedih loh...). Dia sama sekali nggak pernah sms saya lagi. Dan inilah mungkin yang dinamakan senjata makan tuan, sindiran-sindiran Seruni dulu kini seperti jadi bumerang buat dia. Hehehe... Semakin Leo sering sms, semakin nggak jelas apa maunya tuh cowok, nggak pentng ‘n nggak jelas juntrungannya. Maka semakin ilfil-lah Seruni yang notabene udah punya cowok ini.

Sampai suatu hari, sebuah kejahatan terencana mulai disandiwarakan oleh Seruni. Leo sebelumnya udah sms dia, biasa...mau nebeng catatan. Maka sejak masuk kelas, saat menunggu dosen, Seruni sudah sibuk mencorat-coret buku catatannya. Mencoret apa? Di setiap halaman akhir catatan mata kuliahnya, Seruni menuliskan namanya dan nama sang kekasih, sepenuh-penuhnya, sebesar-besarnya, dan sejelas-jelasnya.

“Biar mampus...”ujarnya.

Alhasil, dia pinjamkanlah catatan itu pada si Leo tea, berharap Leo membaca setiap halaman akhir yang bertuliskan nama Seruni dan nama cowok lain yang mungkin bisa membuatnya hancur lebur bagai debur ombak di lumpur (wah! Ini sih iklan di radio itu!!! Kreatif dikit dunkz...). Keesokkannya, Leo mengembalikan catatan Seruni, tapi dia kelihatannya biasa aja tuh! Apa dia nggak ambil pusing sama tulisan itu ya? Ato malah dia sama sekali nggak membuka catatan itu? Teuing...

Suatu hari, saya, Seruni, ma teman-teman di kontrakan lagi belanja bulanan di Mall. Pas mau pulang, eh kami ngeliat seseorang, oh bukan, sepasang cowok-cewek yang mana si cowok itu kami kenal, siapa lagi kalo bukan Leo! Dia ngebonceng cewek loh! Siapa ya? Manis juga...Segera saya panggil si Seruni, pas Seruni ngeliat Leo, meledaklah tawanya (secara nggak disadarinya, ada dua cowok lagi melintas di parkiran yang ngeliat aneh ke arah Seruni karena tawa sutra itu). Akhirnya kami punya prove bahwa si Leo teh udah punya bokin...Maka kini kami punya beberapa alasan logis untuk ilfil ma cowok bernama Leo itu

· Dia udah punya awewe setelah kami menyaksikan dengan mata kepala hidung mulut telinga kami sendiri.

· Kejadian di Mall itu menguatkan dugaan kami bahwa Leo tuh udah punya pacar. Karena dulu, kami pernah juga ngeliat dia menjambangi sebuah kos-kosan cewek. Masa’ iya itu kos adik ato saudara perempuannya, secara orang tajir kayak Leo mah, rumahnya di Samarinda ini banyak...

· Si Leo tuh biar badannya begeng begitu, dia itu perokok, berat kali ya, ih amit-amit, kita mah nggak butuh cowok yang sukanya nyarap rokok...

Hehe...Kita liat aja lah ntar, gimana akhirnya “usaha” si Leo ini. Mungkinkah dia sejenis makhluk yang sering di lantunkan band Hello (Ular berbisa maksudnya...) ato seperti yang sering didendangkan para pecinta dangdut, Kucing Garong...Teuing...