Mendung di Hati Olin

Kamis, 06 Maret 2008




Sore itu, Olin baru saja pulang dari rumah salah seorang teman sekelasnya. Mereka melaksanakan belajar kelompok untuk menyelesaikan tugas sekolah mereka.
“Assalamu’alaikum…” Olin mengucapkan salam.
Tapi, tak ada jawaban dari dalam rumahnya. Entahlah, mungkin mama dan papa sedang tidak berada di rumah, seperti yang biasa mereka lakukan.
Olin baru saja hendak memasuki kamarnya ketika ia melihat mamanya duduk di ruang makan sembari melamun di dekat jendela. Ternyata, mamanya ada di rumah, pantas pintu rumah tidak dikunci. Begitu piker Olin. Dan tampak olehnya kepulan asap yang mengitari wanita berusia 40-an tahun itu. Sadarlah Olin bahwa mamanya sedang merokok.
“Mama! Mama apa-apaan sih? Sudah berapa kali Olin bilang, Ma. Init uh nggak baik buat kesehatan Mama…” cegah Olin dan berusaha merebut rokok itu dari tangan mama.
“Diam, Olin! Mama nggak perlu nasihat dari kamu! Anak kecil! Tahu apa kamu soal kesehatan Mama?!!” Bentak mama berang.
“Ma, kenapa sih, Mama tuh selalu nyalahin Olin. Padahal Olin kan nggak tahu apa-apa…”
“Mama udah capek ngomong sama kamu, Olin. Mama Cuma mau kamu nggak ikut campur dengan semua urusan Mama! Ngerti?!” tegas mama lalu masuk ke dalam kamarnya.
Olin menghela napas dalam-dalam. Ia Cuma bisa pasrah dengan keadaan ini. Gadis itu pun melangkah gontai dan memasuki kamarnya.
Olin melempar tasnya begitu saja dan merebahkan tubuhnya di spring bed. Matanya yang mulai berair menatap lekat pada langit-langit kamarnya. Hatinya terasa hancur oleh ucapan mamatadi. Bagaimana bisa seorang ibu berlaku begitu kasar terhadap anaknya yang tak bersalah apa-apa?
Laksana sebuah rol film, pikiran Olin segera berputar mundur ke beberapa tahun yang lalu. Saat isi rumah ini masih begitu lengkap dengan keberadaan Olga, kakak Olin.
Senyum manis Olga yang selalu dibarengi dengan lesung pipit yang merekah di sisi-sisi bibir merahnya, binar matanya dengan bulu-bulu mata yang lentik, serta rambut ikalnya yang legam kala berhadapan dengan sinar matahari, terekam begitu jelas dalam benak Olin. Kakaknya yang cantik, pintar, dan baik. Oh… Olin tak kuasa lagi membendung tangisnya.
Tapi, salahnyakah jika akhirnya Olga harus pergi dari kehidupan mereka semua?
***
Hujan di luar masih terus mengguyur deras kota Tenggarong. Sementara dentang waktu mengarah tepat pukul 08.00. Deng…Dong…Deng…Dong…Suarqa itu kian membuat Olin menjadi gelisah. Katup-katup bibirnya menguncup ditingkahi kerutan-kerutan khas perasaan tak suka yang menghiasi dahi berponinya.
Olin menyentakkan kakinya ke lantai keras-keras. Sudah bisa dipastikan, Bu Dina pasti marah besar dengan keterlambatannya. Tak ada yang bisa menawar kemarahan guru over disiplin itu bila ada siswanya yang terlambat. Bahkan hujan sekalipun!
Sekarang siapa yang akan menolongnya dalam keadaan seperti ini? Hujan deras, tak mungkin ia pergi sendiri dengan sepeda mini yang setia mengantarnya setiap hari itu. Papa tidak di rumah, sibuk dengan bisnisnya yang selalu dating silih berganti. Mama, meski ada sebuah Inova yang menganggur di garasi, tak mungkin mama mau menggunakannya. Bahkan, untuk mengendarai motor pun, mama terkadang masih takut akibat trauma melihat sebuah kecelakaan naas di depan matanya beberapa waktu silam. Hhh… mama yang sensitive!
Olin melirik kea rah Olga yang baru selesai mandi. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di pikirannya.
“Kak, anterin ke sekolah dong…” pinta Olin.
Olga memandang ke luar jendela. Deru hujan begitu meredam suara-suara di sekitarnys.
“Yakin guru kamu masuk?” Tanya Olga.
“Bu Dina, Kak…Aku udah cerita kan…?”
Olga mengangkat alisnya,”Hari yang menyebalkan ya, Lin?”ujar Olga sembari masuk kamar.
Olin mengejar gadis berusia 20 tahun itu. “Lantas, apa tindakan Kakak untuk nolong aku?”
“Berat, Lin…”
Kecewa Olin mendengar jawaban itu. Tiba-tiba mama muncul.
“Izin aja, Lin,” ucap Mama.
“Nggak ah! Olin males izin-izin segala, hari init uh pelajarannya penting-penting semua, Ma…Olin nggak mau ketinggalan…”
“Dasar belajar mania! Siap-siap, gih!” Olga berseru.
“Beneran, Kak?”
Olga mengedipkan sebelah matanya dan segera meraih jas hujan dari lemarinya.
“Olga, jangan suka manjain Olin. Mama takut, nanti kalian malah kesulitan di jalan. Liat tuh hujannya, sampai nggak bissa liat apa-apa di luar,” ujar mama khawatir.
“Mama! Jangan mulai deh!” seru Olin dan Olga bersamaan.
“Tapi, kamu mau pakai apa, Ga?”
“Motor aja lah, malas nih ngeluarin Inova”
“Lagipula, Kak, Kata Papa, ban belakang Inova lagi bocor tuh!” ujar Olin sembari merapatkan resleting jaketnya.
“Senangnya kok hujan-hujan…!” omel Mama sembari mengantar kedua putrinya ke teras.
“Olga kan pake jas hujan yang gede ini, Ma. Jadi, nggak bakal basah-basahan. Lagipula kalo pake motor, paling berapa menit aja juga sampai. Naik, Lin!” ucap Olga setelah menstater motor bebeknya yang berada di garasi.
“Olin berangkat ya, Ma…Assalamu’alaikum…”
Sesaat kemudian, motor bebek itu telah melaju kencang menembus jatuhnya air hujan yang tak ada habis-habisnya.
Sesampainya di depan gerbang sekolah. Olin turun dari motor bebek Olga. Payung yang ia bawa kini melindungi dirinya dari hujan yang kian menderas.
“Udah, masuk kelas sana!” suruh Olga.
Olin tersenyum. Dalam hati, ia begitu bangga memiliki kakak sebaik Olga. Olga begitu perhatian padanya. Dan kini, senyum kakak tercintanya itu terkembang manis di bawah rinai hujan. Ada sesuatu yang tak diketahui Olin di balik senyuman itu, sesuatu yang akan membuat Olin menjadi takut.
***
Seperti biasa, apabila Olin pergi ke sekolah dengan di antar, ia selalu pulang dengan menggunakan jasa tukang ojek. Mendadak, keheranan terpapar di wajah Olin ketika dilihatnya banyak orang berkumpul di rumahnya. Yang wanita memakai kerudung dan yang pria berpeci. Perasaan Olin jadi makin risau tatkala ia melihat sebuah bendera putih di depan rumahnya. Oh! Siapa yang meninggal?
Ketika ia memasuki rumahnya, terlihat olehnya sesosok tubuh terbujur kaku yang dibaringkan di tengah-tengah ruang tamu. Tubuh itu diselimuti kain, begitu pun wajahnya. Sementara, orang-orang di sekelilingnya beramai-ramai membacakan surat Yasiin.
Olin melangkah ragu-ragu, mendekati tubuh tak bernyawa itu. Perlahan dibukanya kain penutup wajah si mati, dan Olin merasakan tegang seolah darahnya berhenti mengalir melihat wajah pucat Olga yang dipenuhi luka. Kapala Olin bagai dihantam sesuatu yang kera, ia tak mampu merasakan apa-apa lagi. Sekelilingnya menghitam dan ia pun jatuh pingsan.
***
Olin terbangun dari lamunannya. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Angin yang dingin masuk ke kamar Olin melalui ventilasi, sehingga membuat gadis 16 tahun itu dapat merasakan sentuhan dinginnya. Dingin yang melukai. Karena dingin itu, ia kembali teringat pada Olga dan ketidakterimaan mama yang selalu ditumpahkan lewat dirinya.
“Ini semua salah kamu, Lin! Seandainya kamu nggak maksa Olga untuk ngantar kamu ke sekolah, dia nggak akan ninggalin kita,” ceracau mama di sela-sela isak tangisnya.
“Tapi, Ma… Olin nggak tahu bakal begini jadinya…”
“Justru itu, Lin, Harusnya kamu ngerti, di luar lagi hujan, jalanan pasti licin! Dan kamu tahukan kalo untuk ke rumah kita ini harus ngelewatin tanjakan?”
“Maaf, Ma…Tapi, Kak Olga selalu hati-hati kok di jalan, biar cuaca buruk begitu…”
“Olin, Mama tetap merasa sakit harus kehilangan Olga”
“Maaf, Ma…” Olin mulai terisak.
“Terlambat, Lin…”
Olin masih begitu hafal kata-kata mama seusai pemakaman Olga saat itu. Sejak itu, mama kelihatan selalu frustasi. Ia kerap menyendiri. Papa telah mencoba untuk menyadarkannya, tapi mama justru selalu melawan dan melemparkan sumpah serapahnya. Papa bisa apa? Terlebih ia harus disubukkan dengan urusan bisnisnya. Papa hanya berpesan pada Olin agar selalu menjaga perasaan mama.
Tapi, kekerasan hati mama terlalu sulit untuk dilunakkan. Ia tetap menganggap Olin sebagai penyebab kematian Olga. Di saat kesendiriannya, teman setia mama hanyalah sebungkus rokok yang selalu ia sembunyikan dari papa. Bahkan, ia juga mengancam Olin untuk tak bilang pada papa. Oh Mama…Aku rindu senyummu, gumam Olin lirih.
Tiba-tiba handphone-nya berdering, Saskie meneleponnya.
“Halo, Sas…Assalamu’alaikum,” sahut Olin
“Wa’alaikumsalam…Lin, gimana keadaanmu?” Tanya Saskie
“Baik, Sas”
“Hhh…syukur deh, aku khawatir aja sama kamu. Tapi, kamu nggak bohong ‘kan?”
“Nggak, Sas. Tapi…”
“Kenapa? Mamamu lagi?”
Olin mengangguk tanpa menjawab pertanyaan Saskie.
“Lin, kenapa?”
“Ah, nggak apa-apa, Sas. Aku Cuma mau bilang…tapi, waktu kamu telpon aku, aku lagi tidur,” Olin terpaksa berbohong.
“Oh, maaf, Lin. Aku ganggu ya? Ya udah deh, kamu terusin aja tidur kamu. Assalamu’alaikum…” Lalu telepon pun terputus.
Maaf sobat, batin Olin.
Saskie memang selalu meneleponnya jika sahabat baiknya itu merasakan perasaan tak enak terhadap Olin. Olin memang pernah cerita tentang mama pada Saskie. Tentang kemarahan mama padanya yang tak pernah surut, tentang kesediahannya terhadap perilaku mama, dan tentang tindakan kasar mama yang bahkan tega memukul dirinya. Hanya pada Saskie, ia menumpahkan segalanya, selain ia bergantung pada Yang Maha Pengasih. Bagi Olin, Saskie merupakan kakak keduanya setelah Olga yang kini telah tiada di hari-harinya.
Bila Olin berkunjung ke rumah Saskie, gadis pendiam itu merasa menemukan gambaran konkret indahnya arti sebuah keluarga. Apalagi bila melihat ayah Saskie yang begitu berwibawa, ibu Saskie yang ramah dan penyayang, serta ketiga adik kembar Saskie, Zakky, Zahra, dan Zulfi yang imut-imut dan periang itu. Ah…terkadang ia merasa iri dengan itu semua. Betapa miris hatinya jika harus membandingkan keluarganya dengan keluarga Saskie.
Keluarga Saskie adalah surga cintanya di dunia. Surga dimana ia dapat melepas segala duka di hatinya. Surga dimana ia mendapatkan kembali kasih saying yang beberapa tahun ini hilang terampas darinya di tempat tinggalnya sendiri. Kini, biarlah waktu yang bicara, kapan mama mau menerimanya kembali.
Olin melangkah menuju jendela kamarnya. Jendela yang menyebabkan air hujan dapat masuk ke dalam kamar Olin. Ia mendongakkan kepalanya,melihat langit yang menumpahkan hujan begitu dahsyat. Mendung itu…Mendung itu belumlah sirna. Dan kini, mendung itu pun turut berkumpul di hati Olin.


Tenggarong, 22 Januari 2007

Invisible


6 September 2007

Allah, aku ingin tak terlihat...

Doa ku usai sholat Isya. Hening di sekitar. Rumahku sedang kosong. Hanya aku seorang diri di sini. Ayah, Ibu, dan kakakku sedang keluar. Angin dingin masuk lewat jendela kamar sholat rumahku. Astaga! Aku lupa menutupnya! Segera kututup daun pintu jendela yang masih menganga lebar itu. Hari begitu mendung. Sebentar lagi pasti hujan, pikirku.
Aku mendesah. Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku berdoa seperti itu, bukan? Aku serius! Aku benar-benar ingin tak terlihat oleh siapapun, bahkan keluargaku, ibu, ayah, dan kak Dinar.
Aku bosan menghadapi kehidupanku akhir-akhir ini. Selalu dimarahi, selalu disalahkan, selalu dimusuhi. Aku muak! Maka, aku berdoa saja, semoga aku tak terlihat. Biar saja! Biar mereka tahu bagaimana rasanya bila tak ada aku! Meskipun aku tahu, itu mustahil. Doa jelek seperti itu mana mungkin Allah mengabulkannya.

16 Agustus 2007

“Ela! Kamu apakan motor Ayah?!”
Aku baru saja pulang dari sekolah ketika suara berwibawa dan tegas itu menegurku. Aku hanya diam lantas merangsak duduk di kursi tamu. Kucopot kedua kaos kakiku. Ah... lelahnya...
“Ela?!” kali ini suara Ayah terdengar lebih tinggi.
“Ada apa sih, Yah...?” tanyaku dengan malas.
“Kamu apakan motor Ayah, sampai-sampai kaca spionnya pecah begitu?”
“Diserempet, Yah,” jawabku pendek. Aku benar-benar malas perang mulut kali ini. Aku lelah.
“Diserempet? Gimana bisa sih? Kamu pergi kemana tadi malam?” kali ini Ibu ikut menginterogasiku.
“Kan Ela udah bilang mau ke rumah Mutia, Bu. Nah, di perjalanan ke rumah Mutia itulah Ela diserempet motor”
“Ke rumah Mutia kok sampai jam 11 malam? Kamu ngapain aja di sana, La?” tanya Ayah sinis.
“Biasalah, Yah, ada kerjaan bikin proposal pertandingan basket”
“Bukan nonton konser?”
Aku berhenti berkedip mendengar pertanyaan Ayah barusan. Bagaimana Ayah bisa tahu kalau semalam aku memang nonton konser, bukan ke rumah Mutia?
“Maksud Ayah apa sih? Semalam Ela nggak nonton konsernya Seleband kok!”
“Apa kamu bilang? Konser Seleband? Perasaan tadi Ayah nggak bilang ada konser Seleband deh, La. Berarti kamu semalam beneran nonton konser kan?” tnya Ibu.
Ups! Bodohnya aku! Kenapa nama band itu sampai kusebut-sebut segala ya? Tentu saja Ayah dan Ibu curiga.
“Iya deh... Ela ngaku... semalam Ela emang nonton konser...” akhirnya aku mengaku juga, Aku siap! Aku siap dengan berbagai omelan yang akan ditumpahkan spesial untukku setelah ini.
“Ela, Ela... sudah berapa kali Ayah larang kamu untuk nggak nonton konser seperti itu. Kamu ‘kan anak perempuan, La. Nggak baik keluyuran malam-malam. Nonton konser, nggak izin lagi sama Ayah! Tempat seperti itu ‘kan bahaya. Bandel banget sih, dikasihtahu,” omel Ayah.
Aku tetap diam menanggapi kedua orang tuaku yang selalu sibuk itu. Lihat saja, sebentar lagi mereka juga akan kembali ke kantor masing-masing. Aku tak peduli. Pergilah, Yah, Bu! Jangan ingat aku saja sekalian!

21 Agustus 2007

“Assalamu’alaikum... Yah, Bu... aku pulang...” suara berat itu baru terdengar lagi di rumah ini.
Pasti Kak Dinar. Hhh... Aku malas menyambutnya. Kembali kutekuri komik Detective Conan yang ada di tanganku. Terdengar suara bahagia Ayah dan Ibu melihat anak laki-laki kebanggaannya itu pulang dari karantina paskibra. Aku berusaha tak mengindahkannya.
Kicauan burung gereja memperindah senja yang mulai merapati hari ini. Sisa-sisa hujan tak lagi ada. Hanya ada angin yang berhembus sepoi-sepoi dan masuk ke dalam kamarku. Derai-derai tawa itu terdengar jelas dari lantai bawah. Tawa mereka, Ayah, Ibu, dan Kak Dinar. Hh, Kakakku itu pasti sedang asyik bercerita tentang pengalamannya di karantina.
Ia memang aktif sekali di kegiatan seperti itu. Setiap upacara hari senin di sekolah, rasanya tak ada pemimpin upacara yang sebagus Kak Dinar. Ditambah lagi postur tubuhnya yang tinggi tegap, pantas saja kalau beberapa bulan yang lalu ia terpilih sebagai pasukan pengibar bendera di kabupaten mewakili sekolah.
Selain kepiawaiannya itu, Kak Dinar juga merupakan idola di sekolah. Wajahnya yang cool mampu membuat beberapa siswi di sekolah, termasuk di kelasku sendiri, menjadi secret admirer-nya. Dan beruntungnya lagi, Kak Dinar jadi andalan para guru di sekolah. Ia selalu masuk peringkat lima besar tiap tahun ajaran.
Ah...terlalu banyak yang bisa dibanggakan dari kakakku itu. Beda sekali denganku. Di sekolah, aku tak begitu aktif di ekskul, paling-paling cuma Basket. Lagipula, kata teman-teman, aku ini tomboy, jadi jangan harap ekskul cheerleader, keputrian rohis, dan tataboga bakal aku geluti. Tapi masalah otak, aku hampir sama dengan Kak Dinar. Tiap tahun, aku tak pernah luput dari peringkat 10 besar. Nilai-nilaiku selalu di atas rata-rata tujuh.
Tapi, mungkin kepintaranku itu tak pernah dipedulikan oleh kedua orang tuaku. Ia terlalu tertutupi oleh kebandelanku sebagai anak perempuan. Yah, Ela yag pintar tapi bandel, tidak disiplin, pemalas, bla bla bla...
“Ela... turun... Kakakmu udah datang nih...” panggil Ibu.
Aku menghela nafas. Dengan terpaksa, kutinggalkan komik Detective Conan kesayanganku.

29 Agustus 2007

Tawa itu...Tawa mereka...Tawa yang menyebalkan karena tawa itu ditujukan buatku. Tawa Veya cs. Samar-samar kudengar cemoohan gadis kaya raya yang selalu berpenampilan ala Paris Hilton itu. Meskipun kantin sedang ramai, tapi aku dapat mendengar jelas. Cemoohan yang lagi-lagi ditujukan untukku.
“Lihat tuh, si Tomboy..., kalian tau nggak? Tadi dia coba-coba ngedeketin Pak Alfian. Baru dipuji sedikit pas pelajaran olahraga basket aja, udah keganjenan gitu. Ih, amit-amit...”
Aku menutup mata sambil mencoba menahan amarah. Gadis bodoh! Umpatku dalam hati. Veya memang musuhku sejak SMP. Entah kenapa, ia selalu iri jika berhadapan denganku. Padahal aku tak merasa begitu dengannya. Gadis itu selalu merasa menjadi primadona yang tak terkalahkan. Memang sih dia idola para cowok di sekolah, tapi...primadona yang menyakitkan! Dan sekarang, ia mengira aku menyukai Pak Alfian, guru olahraga yang, konon, memang diidolakan para siswi di sekolahku karena beliau ganteng. Heh...apa lagi ini? Benar-benar konyol!
“Apalagi coba kalau si tomboy yang udik itu mau, selain dapat nilai tinggi. Sekarang, mungkin dia baru PDKT, tapi nanti jangan-jangan...ih...dia berani jual diri ke Pak Alfian...”
“Hii...amit-amit...” sahut kawan-kawannya yang juga merasa jadi primadona.
Gubrak!!!
Kali ini aku tak tahan lagi. Kupukul sekuat mungkin meja kantin, membuat anak-anak yang sedang jajan kaget dan menoleh heran kepadaku. Tak ada rasa sakit kurasakan akibat hamtaman meja itu. Aku benar-benar terbakar amarah.
“Ngomong apa kamu barusan!!?? Heh??!!”bentakku saat berada di depannya.
Veya hanya tersenyum licik lalu berkata,”Kenapa kamu marah, gadis manis?”
“Heh, cewek sinting, aku nggak seperti yang kamu tuduhkan! Kamu kali yang seperti itu??!!”
Kali ini gadis sombong itu berdiri.
“Jangan sembarangan ya! Selama ini, semua juga tahu kalau kamu tuh selalu dapat nilai olahraga bagus karena kamu dekat sama Pak Alfian. Jadi, nggak salah dong kalau aku bilang kamu ada affair sama Pak Alfian”
“Konyol! Maksud kamu...” suaraku terhenti ketika bahuku ditarik oleh Mutia, sahabatku.
“La, udah ah, biarin aja tuh cewek! Nggak usah diladenin!” ucap Mutia.
Aku hanya diam. Dadaku turun naik menahan amarah. Panas. Benar-benar panas telingaku mengingat apa yang Veya ucapkan tadi. Selama ini, jika aku berniat untuk “menghabisi” Veya, selalu Mutia yang jadi penengah.
“La, yuk kita pergi,”ajak Mutia.
“Tunggu, Ti...”jawabku lalu mengambil teh hangat yang tadi sempat kuminum.
Serta menrta kudekati Veya dan kusiramkan teh hangat itu ke wajahnya. Di depan seantero kantin! Veya terlihat kaget dan meringis kepanasan. Semua yang melihat hanya diam melongo.
Sambil tersenyum aku berkata,”Hadiah untuk tuan putri Veya yang anggun...”
Lalu aku pergi meninggalkan kantin.

30 Agustus 2007

Ketika itu masih pukul 11.30, masih ada waktu satu jam untuk pulang. Udara yang panas, pelajaran yang membosankan dengan guru yang juga membosankan karena tidak menarik dalam menjelaskan meteri, membuat hampir semua siswa di kelasku mengantuk. Mungkin hanya Mutia, sang jawara kelas, yang tetap setia menyimak pelajaran.
Tiba-tiba terdengar derap suara sepatu mendekati kelasku, X-1, dan sosok Pak Wiguna muncul di ambang pintu. Tampak sorot matanya mengarah padaku. Sorot mata yang berwibawa sekaligus dingin dan menakutkan.
“Tiandina Arsella! Ikut saya ke kantor,”ucap Pak Wiguna sejurus kemudian.
Aku bangkit dari kursi dengan wajah pasrah. Aku tahu, teman-teman sekelasku tengah menatap lekat sosokku yang tengah berjalan patuh ke arah Pak Wiguna seperti kerbau dicocok hidungnya. Padahal dalam hatiku bertanya-tanya, ada masalah apa siang bolong begini aku dipanggil ke kantor? Jangan-jangan... Ah! Aku pasrah! Pasrah!
Kuikuti langkah Pak Wiguna yang berjalan menuju kantor. Tak sepatah kata pun ia ucapkan. Sementara pertanyaan yang sama tetap saja menggelayuti benakku. Dan pertanyaan itu sedikit terjawab tatkala kumasuki ruang wakil kepala sekolah itu. Di dalamnya Veya telah menanti kedatanganku. Aku duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Veya dan menghadap Pak Wiguna. Kami hanya diam.
“Ela, saya baru saja mendapat laporan dari Veya tentang apa yang kamu lakukan kepada dia kemarin,” Pak Wiguna membuka pembicaraan.
Aku masih menyimak. Risau, itu yang ada dalam hatiku sekarang.
“Kata Veya, kamu sudah menuduh dia sebagai...ee...pelacur. Begitu?”
“Bohong, Pak! Saya nggak pernah ngomong begitu ke Veya. Justru dia yang bilang seperti itu ke saya, Pak!” seruku membela diri.
“Nggak, Pak. Dia yang bohong! Nggak cuma itu, Ela juga udah menyiram muka saya dengan teh panas. Sekarang Bapak bisa liat ‘kan, muka saya melepuh begini,”ucap Veya sambil menunjuk-nunjuk wajahnya yang agak merah.
Aku menggeleng.
“Saya memang menyiram dia dengan teh, tapi itu semua saya lakukan karena saya marah akibat apa yang sudah dia tuduhkan ke saya, Pak...”
“Sudah, sudah, cukup! Tolong tenang, masalah ini nggak akan selesai kalau kalian emosi...”ujar Pak Wiguna melerai.
“Saya punya saksi, Pak. Meta, Gea, masuk!” Veya memanggil dua orang sahabatnya masuk ke kantor.
Aku sedikit kaget melihat kedatangan mereka. Mampus! Aku benar-benar mampus!
“Kami lihat dengan mata kepala kami sendiri, Pak, waktu kami sedang makan di kantin, Ela asyik membicarakan kejelekan Veya di depan teman-temannya bahkan Ela juga menuduh Veya yang nggak-nggak. Tapi, Veya diam aja nggak menanggapi. Terus Ela datang ke meja kami dan memaki-maki Veya. Selain itu, dia juga sudah menyiram Veya dengan air teh yang panas,” ucap Meta yang diiyakan oleh Gea.
Bohong..., hatiku cuma bisa bergumam lirih.
“Jadi, jelas, kamu yang salah, Ela...”ujar Pak Wiguna.
“Tunggu, Pak, kalau dia punya saksi, saya juga punya saksi. Tunggu sebentar, Pak,”ujarku kemudian.
Setengah berlari, aku menuju kelas. Mutia. Dia adalah saksi kunci ketidakbersalahanku. Dia satu-satunya yang mendengar apa yang sudah Veya ucapkan padaku. Setelah kupanggil Mutia, kami segera menuju kelas. Ia sempat bertanya ada apa, tapi tak kujawab.
Sesampainya di ruang Pak Wiguna, aku dan Mutia duduk berdampingan.
“Mutia, apa benar Ela sudah menuduh Veya sebagai pelacur?” tanya Pak Wiguna pada Mutia.
Gadis itu hanya diam. Dan aku bisa melihat ketakutan yang ada di wajahnya. Mutia, bicaralah! Sekilas, aku melihat Veya melotot ke arah Mutia.
“Be...benar, Pak,” jawaban Mutia menohok hatiku.
Aku berdiri. “Ti, apa yang kamu bilang barusan!?” seruku padanya.
“Jadi benar ‘kan, Ti, Ela udah menuduh aku yang nggak-nggak waktu di kantin kemarin?” tanya Veya.
Mutia mengangguk, “Iya, Ela melakukan itu sama kamu, Ya”
Aku benar-benar shock. Kenapa Mutia berkata seperti itu? Padahal kemarin dia membelaku ‘kan?
Pak Wiguna menghela nafas dalam lalu berkata,” Ela, kamu memang bersalah. Bahkan saksi yang kamu hadirkan pun menyebutkan bahwa kamu yang melakukan tuduhan itu kepada Veya. Kamu dihukum! Setiap hari mulai hari ini sampai minggu depan, kamu harus menggantikan tugas Pak Lono untuk memotong rumput halaman sekolah dan menyapu kantor guru. Mengerti?”
Aku hanya diam tertunduk. Kulirik Mutia yang juga tertunduk dan Veya cs yang tersenyum penuh kemenangan. Alhasil, setiap pulang sekolah, aku harus bertahan di sekolah untuk memotong rumput di halaman sekolah yang begitu luas. Dan pagi-pagi sekali aku harus datang ke sekolah untuk memyapu lantai ruang guru. Tak jarang, aku melihat Veya cs. mengejekku dari jauh. Sementara Mutia, jangan harap aku mau berteman lagi dengan orang yang memberi kesaksian palsu itu pada Pak Wiguna. Kuanggap, aku dan Mutia bukan teman lagi. Ini tak adil! Aku selalu bisa dijadikan kambing hitam oleh genk gadis-gadis rese’ itu. Apa karena Veya anak seorang pengusaha yang juga turut andil dalam pembangunan sekolah ini, lalu ia selalu mendapat perlakuan yang baik? Benar-benar tak adil!

3 September 2007

Pagi-pagi sekali aku sudah sampai di sekolah. Hingga hari ini, aku masih dalam masa hukuman. Ketika aku menuruni tangga dari kelas untuk menuju ruang guru untuk melaksanakan tugas itu, aku berpapasan dengan Mutia yang sepertinya memang sengaja menungguku di bawah tangga.
“La, maafin aku, ya. Aku benar-benar nggak bisa nggak ngomong terus sama kamu,” ucapnya.
Aku diam menatapnya tanpa senyum. Aku benci ia! Aku benci wajah lugu yang jenius itu!
“Ini aku buatkan klepon kesukaan kamu,” ujarnya sambil menyodorkan sebuah wadah plastik berwarna biru padaku.
Ia membuka tutupnya dan terlihatlah klepon nan hijau yang sebetulnya menggoda seleraku. Tapi, mengingat apa yang telah ia lakukan padaku, aku tak sudi menerima kue itu. Segera kutepis pemberiannya itu dengan tanganku hingga membuat wadah plastik itu jatuh dan klepon-klepon berhamburan di lantai. Aku berlalu meninggalkan Mutia. Biarlah, aku tak peduli lagi dengan gadis itu!
Saat istirahat, aku menyendiri di perpustakaan. Aku merasa tak punya teman lagi semenjak dijatuhi hukuman itu. Tiba-tiba seseorang datang padaku.
“Hai Ela, lagi ngapain?” tanya suara itu yang ternyata adalah Novan.
Aku melengos. Hhh...ini lagi... kenapa sih hari-hariku selalu dikelilingi oleh orang-orang menyebalkan seperti ini?
“Kamu nggak liat aku lagi ngapain?” aku balik bertanya sembari mengacungkan buku yang kubaca di depan wajahnya.
Cowok yang selama ini selalu sok care denganku itu hanya tersenyum.
“Aku dengar, kamu lagi dapat masalah dengan Veya ya? Kenapa sih?” tanyanya lagi.
“No comment!” ujarku ketus lalu melanjutkan bacaanku.
“Oke, oke, nggak usah ketus gitu dong jawabnya. Yang aku dengar lagi, akhirnya kamu dihukum sama Pak Wiguna, gitu?”
Aku hanya diam. Malas menanggapi cowok aneh yang sok cool itu.
“Tapi, bagaimana pun juga aku tetap peduli kok sama kamu dan aku tetap membela kamu. Tenang aja, La, Novan akan tetap setia di samping kamu...”ucapnya menggombal, seperti biasanya.
“Kalau aku nge-bom sekolah. Meskipun aku bersalah, kamu tetap belain aku?” kelakarku masih dengan nada ketus.
“Kamu tuh pintar ngelawak juga, ya, La?” sahutnya sambil tertawa.
Kesal juga melihat tingkah cowok yang, katanya, sudah mengincarku sejak SMP untuk jadi pacarnya ini. Entah pacarnya yang keberapa.
“Van, itu sama sekali nggak lucu! Sekarang juga kamu pergi dari hadapanku sebelum aku timpuk kamu pakai ini,” ancamku sembari mengangkat buku setebal 600 halaman yang ada di tanganku.
Novan segera berlalu, tapi sebelum keluar dari perpustakaan, ia sempat melayangkan kiss bye-nya untukku. Ih... Menjijikkan! Aku heran dengan cowok yang kaya tapi sedikit lemot itu, tak pernah kapok-kapoknya mengejar-ngejar aku. Aku saja bosa melihatnya setiap hari. Andai bisa terbang, aku ingin terbang untuk menghindari Novan dan gombalannya itu. Sampai kapanpun, aku tak akan bisa ditaklukkan oleh playboy cap tong sampah pinggir kali itu.

“7 September 2007”

Kubuka mataku perlahan dan melirik ke arah jam weker. Jam 05.03. Bergegas aku pergi ke kamar mandi dan mengambil air wudhu. Kutunaikan sholat subuh. Usai itu, aku bersihkan kamarku dan beranjak hendak mandi. Kulihat ibu sedang memasak.
“Bu, aku hari ini nggak usah minum susu ya? Teh aja cukup,” ucapku pada ibu.
Tapi ibu diam saja tak menyahut dan tetap asyik memasak. Heran, biasanya ibu paling sewot kalau anak-anaknya tak mau minum susu. Tiba-tiba ibu melangkah ke arahku dengan tatapan hampa dan lewat begitu saja di sampingku.
“Ela...! Bangun! Nanti kesiangan lho...” panggil ibu sambil melihat ke kamarku yang berada di lantai atas.
Lho,lho,lho? Ada apa ini? Aku ‘kan sudah di sini, kenapa ibu malah mengira aku masih di kamar dan memanggilku? Ibu tak bisa melihatku! Apa benar ibu tak bisa melihatku?
“Ibu! Ibu!” panggilku. Tapi, ibu seperti tak mendengar suaraku apalagi melihat wujudku.
Aku bergegas kembali ke kamar dan merenung. Apa benar sekarang aku tak terlihat? Tanyaku dalam hati. Bagaimana bisa? Apa doaku semalam benar-benar terkabul? Ah, mustahil, bagaimana mungkin Allah mengabulkan doaku dan mewujudkan keajaiban ini? Aku ingin memastikannya pada yang lain.
Diam-diam, aku masuk ke kamar Kak Dinar. Ia sedang merapikan tempat tidurnya.
“Kak,”panggilku.
Tapi, responnya sama dengan ibu. Bahkan ketika ia menoleh ke arahku, ia tak melihatku. Begitu juga saat kucoba pada ayah. Sama sekali mereka tak menyadari keberadaanku. Dan aku benar-benar tak terlihat! Iseng-iseng aku menulis surat yang berisi bahwa aku kabur dari rumah. Aku ingin melihat, apakah mereka masih bisa panik mendengar kepergianku. Ternyata benar, mereka panik tatkala ibu menemukan surat yang kuletakkan di atas meja belajarku itu. Padahal aku di sini, sedang duduk tertawa melihat kepanikan mereka. Dan yang pasti, hari ini aku tak perlu ke sekolah...

“9 September 2007”

Hhh... ternyata enak juga jadi orang yang tak terlihat, selain bisa menghukum keluargaku dengan kepergianku, ternyata juga bisa memberi pelajaran kepada orang-orang yang pernah usil padaku. Siapa lagi kalau bukan Veya! Kemarin siang, iseng-iseng, aku pergi ke sekolah. Tentu saja bukan untuk belajar. Hanya memastikan bahwa teman-teman di sekolah juga tak bisa melihatku. Dan, dugaanku tepat! Mereka sama sekali tak tahu kalau aku ada di tengah-tengah mereka. Hebohnya, mereka juga mengira aku hilang.
Saat istirahat, aku menuju kantin dan seperti biasanya, Veya cs. selalu nongkrong di kantin itu. Sekalian saja, aku “mengerjai” mereka. Awalnya kutarik-tarik rambut Veya yang panjang terurai. Mereka terkejut dan ketakutan. Seisi kantin hanya bisa menonton, sebagian lagi lari ketakutan juga. Mereka kira di kantin ada hantu. Lalu, dengan gunting yang kubawa dari rumah, kugunting-gunting rambut gadis sombong itu hingga bentuknya tak beraturan. Ia hanya bisa menangis ketakutan.
Tak hanya itu, setelah puas membuat mahkota Veya jadi jelek, kuambil semangkuk bakso yang ada di mejanya dan kutumpahkan isinya di kepala Veya. Seluruh pengunjung kantin terkejut, mereka benar-benar mengira ada hantu di kantin, buktinya mangkuk bisa melayang sendiri. Aku hanya bisa tertawa menyaksikan itu.
Veya hanya bisa menangis mendapat perlakuan seperti itu dari wujud yang ia tak ketahui. Sementara sebagian orang di kantin juga mulai menertawainya dan Veya benar-benar malu. Hm, itu balasan yang pantas untuk seorang Veya yang telah memfitnahku!

“10 September 2007”

Aku mulai merasa bosan dengan keadaanku yang tak terlihat seperti ini. Aku merasa kesepian. Dan aku menyadari, selama itu, aku telah membuat orang resah dan susah. Orangtuaku masih cemas dengan kehilanganku. Bahkan mereka sempat menyebar pamflet yang memasang wajahku dan melaporkan kehilanganku pada polisi. Veya tak masuk sekolah. Katanya, ia sedang demam dan terus mengigau. Kasihan juga sih.
Novan. Ah, entah kenapa aku jadi kangen dengan gombalannya itu. Meski aku memang tak menyukainya, tapi cuma dia orang bisa mengerti dan mau berteman denganku, bahkan saat aku dimusuhi. Hanya saja, aku agak kesal dengannya saat ini. Semenjak aku jadi tak terlihat, si troublemaker itu mulai menekuni hobi lamanya kembali yaitu menggoda gadis-gadis lain di sekolah. Biasanya kalau ada aku, Novan tak berani berbuat begitu dan gadis-gadis yang biasa ia goda tidak akan terganggu dengan keberadaan Novan. Mereka selalu menganggap aku sebagai tameng mereka terhadap Novan. Sekarang, karena aku tak ada, gadis-gadis itu kembali diganggu oleh Novan.
Dan...Mutia. Sahabatku itu terlihat lebih sedih dari sebelumnya. Apalagi aku dan dia belum bermaafan. Dan yang lebih bodoh lagi, aku percaya mentah-mentah bahwa ia menjerumuskanku saat dianggap telah mencoreng nama Veya. Yang sebenarnya, ia diancam oleh Veya. Kalau seandainya Mutia tidak memberi kesaksian palsu atas tuduhan terhadapku, maka ayahnya yang seorang tukang kebun di rumah Veya itu akan dipecat. Tentu saja Mutia tak ingin ayahnya itu kehilangan pekerjaan. Apalagi, ibunya sudah meninggal dan ayah Mutia harus menyekolahkan Mutia dan adik-adiknya yang lain. Ah, Bodoh! Bodoh!
“Ela..., kamu kemana, La? Semua orang cemas nyariin kamu. Kamu pulang dong... Aku kangen banget sama kamu. Maaf ya, waktu itu aku udah bohong di depan Pak Wiguna. Aku takut ayahku kehilangan pekerjaannya, La. Maafin aku, La...” kudengar penyesalan Mutia di sela isak tangisnya suatu hari saat di kelas.
Malam harinya saat di rumah, tangis yang sama kudengar dari bibir ibu.
“Yah, pokoknya Ela harus bisa ditemukan! Ibu nggak mau Ela kenapa-napa... Apalagi dia anak perempuan. Ela...dimana kamu, Nak? Nggak bisa kehilangan kamu dengan cara seperti ini. Maafin Ibu kalau ada salah, Nak...”
“Sabar, Bu, sabar... Ela pasti bisa ditemukan. Ayah juga nggak akan biarin Ela kenapa-napa” sahut Ayah menyabarkan Ibu di pelukannya.
Aku terduduk di teras. Aku ikut menangis karenanya. Suara Ibu dan ayah terdengar jelas dari dalam rumah. Dan ternyata, selama ini aku salah, ayah dan ibu menyayangiku. Sebesar apapun kemarahan mereka, mereka tetap orangtua yang menyayangiku. Tiba-tiba saja aku menyesal telah berdoa seperti tempo hari. Aku ingin tak terlihat...Oh! Bodoh sekali aku! Aku hanya bisa lari dari masalah yang kuciptakan sendiri tanpa mengubahnya menjadi lebih baik.
Aku berdiri dan mencoba masuk ke dalam rumah. Tapi, pintu telah dikunci. Aku menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil-manggil ibu dan ayah, tapi mereka tak mendengar. Aku pasrah dalam tangis. Bagaimana pula dengan wujudku yang tak terlihat ini? Apakah aku kan tak terlihat selamanya?
“Allah...kembalikan aku seperti dulu...!”
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Tubuhku mulai basah. Aku berlari menuju gudang yang ada di samping rumahku. Aku masuk kedalamnya. Gelap. Tapi, aku tak peduli, juga dengan lapar yang kurasakan menghantam-hantam perutku. Aku benar-benar kedinginan. Dalam keadaan seperti itu, aku hanya bisa menangis. Sesal yang ada hanya menggumpal di hati. Aku tak tahu apakah aku akan bisa terlihat lagi. Allah, aku ingin terlihat..., gumamku lirih.

11 September 2007 (yang ternyata bukan tanggal sebenarnya)

“Ela...Ela...Bangun, La...”sebuah suara yang kukenal menyebut-nyebut namaku.
Perlahan kubuka mata dan kudapati sosok itu tengah memandangiku heran.
“Kak Dinar!” pekikku riang seraya memeluk kakakku itu.
“La, kamu ngapain ada di sini? Jadi, sehari ini kamu ada di sini? Semua orang tuh panik nyariin kamu, La. Tiba-tiba menghilang begini,” cecar Kak Dinar setelah melepas pelukanku.
Sehari? Bukankah aku menghilang selama empat hari? Kudapati diriku yang memang masih ada di gudang sebelah rumah. Seperti semalam dimana aku berteduh dari hujan. Dan hari beranjak sore.
“Kak, sekarang tanggal berapa?” tanyaku.
“Sekarang ‘kan tanggal 7 September”
Tanggal 7 September? Berarti aku hanya bermimpi? Apa aku mimpi sambil berjalan ke gudang?
“Sehari ini kamu hilang, La. Pagi-pagi tadi, kamar kamu udah kosong. Ayah sama Ibu kesana kemari nyariin kamu, ternyata kamu di sini. Emang ada apa sih, La?”tanya Kak Dinar.
“Nar, ada apa?” tiba-tiba ayah dan ibu muncul d gudang. Aku segera menghambur ke pelukan mereka.
“Ela... Kamu di sini? Masya Allah, Nak, kami cemas sama keadaanmu. Kamu hilang tiba-tiba sih...” ucap ibu terharu.
Aku tetap memeluk mereka erat. Yang ada di dada ini hanya rasa bahagia dan bahagia.

12 September 2007

Aku berjalan menuju mesjid yang ada di dekat rumahku untuk melaksanakan sholat tarawih. Malam ini adalah malam pertama bulan ramadhan. Sambil berjalan aku merenung. Benar-benar ajaib yang aku alami ini. Aku hanya bermimpi. Tapi, mimpi yang melaju melewati dimensi waktu itu telah mengantarkanku pada suatu pembelajaran yang sedikit demi sedikit mengubah cara pandangku. Dan tentu saja pengalamanku menjadi sosok yang tak terlihat itu takkan pernah kulupakan. Cuma aku dan Allah yang tahu. Yah, kalaupun aku menceritakan itu kepada orang lain, belum tentu mereka percaya.
Hubunganku dengan ayah dan Ibu mulai terasa dekat dibandingkan saat dulu. Tak ada lagi acara membanding-membandingkanku dengan Kak Dinar. Setelah kutengok lebih dekat, ternyata Kak Dinar pun sering dimarahi sepertiku bila ia ceroboh. Ah, mungkin selama ini aku tak begitu memperhatikan kondisi keluargaku sendiri.
Hubunganku dengan Veya kini lebih baik. Entah angin dari mana yang mampu menyejukkan hatinya dan mampu menggerakkan bibirnya untuk berkata maaf kepadaku. Aku tak lagi ambil pusing tentang masalah tempo hari dengannya. Toh, hukuman Pak Wiguna sudah kujalani, ia sudah meminta maaf dan mengaku salah. Jadi, kami impas!
Aku dan Mutia, sahabatku itu, kini sudah bisa tersenyum bersama-sama lagi. Ternyata, apa yang terjadi dalam mimpi ajaibku itu memang benar adanya. Mutia memang diancam oleh Veya dengan mempertaruhkan pekerjaan ayahnya. Dan Novan, masih seperti biasanya, terus menggodaku. Bahkan katanya, saat berita kehilanganku sampai ke telinganya, ia menjadi orang yang paling panik satu sekolah. Tapi, tetap saja, aku takkan suka dengannya. Apalagi, dengan sifatnya yang suka menggoda dan menggombal itu.
Alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an terlantun dari pengeras suara mesjid. Hhh...semoga di Ramadhan ini aku menjadi sosok yang baru. Ada sekelompok anak bermain petasan. Dan aku terhuyung mundur karena kaget ketika tak kusadari adanya sebuah petasan yang meledak di dekatku. Sebuah lengkingan klakson terdengar dari belakang dan kurasakan tubuhku jatuh.

13 September 2007

Rumahku sedang ramai. Hiruk pikuk warna hitam menghambur di dalamnya. Berbaur dengan sayup-sayup lantunan surat Yasiin dan isak tangis dari orang yang kucintai, Ibu. Kupandangi sosokku yang terbujur kaku dan terselubungi kain batik di ruang tengah rumahku. Disekelilingnya aku dapat melihat orang-orang yang kukenal.
Selain Ibu, Ayah, dan Kak Dinar, aku melihat Veya, gadis itu duduk tak jauh dari tubuhku dan aku bisa melihat kesedihan di wajahnya. Untunglah, aku dan dia sudah lebih dulu berbaikan. Novan hanya bisa duduk diam memandangi tubuh tak bernyawaku. Ditangannya ada setangkai mawar merah yang sama seperti yang biasa ia selipkan di tas sekolahku dengan iseng. Wajahnya tak lagi menyebalkan seperti biasa. Semoga setelah ini, ia takkan menggoda dan menggombal gadis-gadis lagi. Dan Mutia, gadis manis itu terlihat paling sedih di antara semua teman-temanku. Entah berapa kali kulihat tubuh kurus Mutia jatuh pingsan.
Ah, padahal ini puasa yang pertama di tahun ini. Bahkan, semalam aku juga tak sempat sholat tarawih setelah kusadari mobil berwarna hitam itu menubruk tubuhku hingga aku jadi seperti ini. Tahun ini, aku benar-benar tak bisa merasakan puasa dan indahnya bulan Ramadhan. Aku tak bisa merasakan diriku yang baru di hari kemenangan nanti.
Hmm...sekarang, aku benar-benar tak terlihat...


Tenggarong, 27 Ramadhan 1428 H
(Ceritanya ngayal banget, ya?)