Kalo kamu sayang ibumu...

Sabtu, 01 November 2008


Seorang anak mendapati ibunya sedang sibuk di dapur. Kemudian menuliskan sesuatu di selembar kertas. Sang ibu menerima kertas tersebut dan membacanya.
Daftar upah membantu ibu
- Membantu ke warung = Rp 20.000;
- Menjaga adik = Rp 20.000;
- Membuang sampah = Rp 5.000;
- Membersihkan tempat tidur = Rp 10.000;
- Menyiram tanaman = Rp 15.000;
- Menyapu = Rp 15.000;
Jumlah = Rp 85.000;
Selesai membaca, sang ibu tersenyum. Ia pun mengambil pena dan menuliskan sesuatu di belakang kertas yang sama.
- Mengandungmu sembilan bulan = GRATIS
- Menjagamu tiap malam = GRATIS
- Airmata yang menetes karenamu = GRATIS
- Khawatir memikirkanmu = GRATIS
- Menyediakan makan, minum, pakaian, dan perlengkapanmu = GRATIS
Jumlah keseluruhan kasih Ibu = GRATIS
Airmata si anak berlinang setelah membaca tulisan itu. Ia pun memeluk ibunya dan berkata “Aku sayang ibu”. Kemudian ia mengambil pena dan menulis di kertas yang tadi ditulisnya: LUNAS.

Saya Kira Kita Sama...


Suatu malam di sebuah kost putri… Ada suara di luar sana. Suara perempuan. Eh, ada lagi, suara laki-laki. Suara mereka terdengar tepat di dekat kamarku yang Cuma berukuran 3x2 ini. Mereka tentulah sedang ngobrol, to the point aja, sedang pacaran. Tapi siapa ya? Malam-malam begini, masih berani tuh cowok menjambangi kost pacarnya. Demi mengurangi penasaran yang memenuhi otakku, diam-diam kusingkap sedikit gorden jendela kamarku, lalu kuintip mereka. Oowwhhh…ternyata gadis berjilbab itu yang sedang asyik berdua-duaan… Aku hanya bisa beristighfar sambil menutup kembali gorden jendelaku. Dan aku kembali merenung, gila…begitu banyak kujumpai fenomena seperti itu di keseharianku…dan mirisnya, begitu banyaknya aku memiliki teman yang seperti itu…
Bukanlah hal yang luar biasa jika saya berani menuliskan hal semacam ini. Tapi, sungguh saya hanya turut prihatin dengan fenomena-fenomena semacam ini. Tidak hanya di kost, di kampus pun saya kerap melihat jilbaber-jilbaber melangkah riang bersama seorang lelaki di sampingnya. Ini mungkin penghinaan bagi jilbaber yang lain, yang sama sekali tidak tersentuh kiblatan salah gaul seperti itu. Dan…saya hanya ingin ikut dalam barisan jilbaber-jilbaber yang teguh hatinya untuk tak menodai kesucian hijab itu.
Saya merasa punya nyali lagi ketika sebuah buku tentang pernikahan dini memaksa saya untuk membacanya…
“Kamu tahu kan posisiku? Sebagai seorang wanita yang berjilbab, aku tidak boleh mencemarkan lambing kesucian yang kupakai setiap saat ini dengan meneruskan hubungan kita. Apa kata orang nanti? Ngakunya akhwat kok pacaran?”
(Salut banget buat mbak Seli dan mas Haekal Siregar. FLP lovers pasti tau banget dialog di atas…)
Betul! Betul sekali! Sudah bagus-bagus aurat ditutup, orang tentu akan merasa segan dengan seorang wanita yang berjilbab. Mereka nggak akan sembarangan ngomong dan bertingkah. Tapi, sayangnya citra ini tampaknya memudar. Seorang yang menutup rapat auratnya tentulah juga mesti menjaga pergaulannya. Namun, halo…dunia… Jilbaber-jilbaber aspal masih bebas bergentayangan menyelubungi dunia gemerlap, pacaran, narkoba, free sex, MBA…
Lantas, sekadar buat apa mereka rela panas-panas memakai jilbab setiap hari…???
Sangat perlu di sadari, banyak jilbaber-jilbaber yang belum tersentuh oleh kata-kata “HIJAB”. Physsicly, okelah… Tapi yang lain, hhmmm…belum tentu…
Pernah saya merasa sangat ilfil dengan seorang teman. Setiap hari, sepotong gamis senantiasa membalut lekuk tubuhnya, jilbab panjangnya membuat saya latah pingin nyaingin dia, tajwidnya Subhanallah lancer, anaknya supel dan sangat menjaga pergaulan dari teman laki-laki yang lain. Buat saya, she’s a star. Suatu hari ketika di jalan, saya bertemu dengannya dan inilah titik temu keilfilan saya terhadapnya. Dia dibonceng oleh seorang laki-laki dewasa. Saat itu saya masih berbaik sangka mengira laki-laki itu adalah kakaknya. Namun, manakala dia berkumpul dengan jilbaber lain (kali ini jilbaber aspal), membicarakan tentang pacarnya masing-masing, eh si jilbaber yang dulu saya anggap star ikut-ikutan ngobrol soal…pacarnya? (yang saat itu dia sebut abang). Dan belakangan saya ketahui bahwa si “abang” ternyata tempo hari memboncengnya.
Apalah dunia ini…Saya merasa sendirian lagi di dunia…
Belum lagi, seorang teman di fakultas kedokteran pernah mengeluhkan tentang jilbaber-jilbaber centil di kelasnya. Sungguh, saya sangat miris mengingatnya.
Mungkin munafik jika saya ngomong besar di sini, sebab meski saya pun seorang jilbaber, kadang ada saja penglihatan ini tak terjaga, lisan ini tak terjaga, telinga ini juga ikut tak terjaga. Tapi, sungguh, saya ingin berada di barisan jilbaber-jilbaber yang teguh hatinya untuk tak mencoreng hijab ini…
Maka, saya pun berharap kepada segenap jilbaber yang saya kenal maupun yang tidak terkenal (loh?) untuk menyegerakan diri mendalami makna “HIJAB”.

Malam rupanya makin larut. Tapi, suara-suara berbeda nada itu masih juga terdengar di luar. Aku menepuk jidatku. Pak penjaga sedang tak di rumah. Dan aku tahu, hati kecilku menyindir, jilbaber kok begitu? Sindiran yang terdengar serupa buatku tatkala beberapa kali aku lalai menundukkan pandangan pada yang tak halal bagiku. Namun, sungguh beruntung aku tidak seperti dia, jilbaber yang kuintip itu. Hhh…Saya kira kita sama…